MENU

Rabu, 23 Juni 2010

KONSEP MAKKIY DAN MADANIY AL-QURAN


Oleh : MUHAMMAD UBAIDILLAH MUBAROK
(Alumnus IAIN Walisongo Semarang Fakultas Ushuluddin)

Kitab suci umat Islam berupa Al-Qur’an, adalah terdiri dari 114 surat, sementara jumlah ayatnya adalah lebih dari 6000 ayat. Penurunan wahyu Al-Qur’an dalam bentuk surat-surat dan ayat-ayat tersebut dilakukankan secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Sebagian ayat-ayat dan surat-surat tersebut diturunkan di kota Makkah dan Madinah, sementara sebagian yang lain diturunkan di luar kota Makkah dan Madinah. Surat-surat dan ayat-ayat yang diturunkan di Makkah dan Madinah adalah lebih banyak apabila dibandingkan dengan surat-surat atau ayat-ayat yang diturunkan diluar Makkah dan Madinah, sehingga muncul istilah surat-surat atau ayat-ayat makiyah dan madaniyah.Para ahli dibidang ilmu-ilmu Al-Qur’an, telah memasukkan salah satu kajian tentang surat atau ayat-ayat makiyah dan madaniyah kedalam salah satu pembahasan dalam studi ilmu-ilmu Al-Qur’an (Ulum Al-Qur’an), yang disebut sebagai ilmu Makkiy dan Madaniy. Kajian mengenai ilmu Makkiy dan Madaniy membahasa tentang klasifikasi atau pengelompokan surat-surat atau ayat-ayat Al-Qur’an kedalam kategori Makkiy atau Madaniy dengan menggunakan metode tertentu serta adanya cara-cara tertentu untuk menentukan setiap surat dan ayat, sehingga istilah Makkiy dan Madaniy dapat dikatakan sebagai disiplin keilmuan tersendiri yang dapat dimasukkan kedalam disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Kata Makiyah secara etimologi adalah berasal dari kata Makkah (kota suci Makkah) yang diberi ya’ nisbah (huruf ya’, yang berfungsi sebagai “menjadikan sifat/menggolongkan/menisbatkan”). Misalnya Hasan Al-Basry, berarti Hasan yang berasal dari kota Basrah, sebuah kota di Iraq). Sehingga Makkah setelah diberi ya’ nisbah menjadi Makkiy dan akhirnya menjadi makiyah, karena menyesuaikan dengan kata yang disifati, yaitu ayatun dan suratun (suatu ayat atau surah apabila dalam bentuk perempuan / mu’annats, maka akan terdapat huruf ta’ marbuthah).
Dari proses gramatikal di atas maka didapatkan kata ayatun makiyatun dan suratun makiyatun kalau dibaca secara lengkap (washal/disambung). Dan jika dibaca secara tidak lengkap (waqaf) menjadi  ayat makiyah atau surah makiyah yang berarti ayat yang sebangsa Makkah, begitu juga dengan kata madaniyah.
Adapun mengenai terminologi atau istilah yang diberikan oleh para ulama tentang ayat-ayat atau surat makiyah dan madaniyah, dalam hal ini setidaknya terdapat tiga perbedaan pendapat. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa ayat-ayat makiyah adalah ayat-ayat yang diturunkan di kota Makkah dan ayat madaniyah adalah ayat-ayat yang diturunkan di kota Madinah. Pendapat kedua menyatakan bahwa ayat makiyah adalah berupa dialog kepada penduduk Makkah dan ayat madaniyah adalah dialog kepada penduduk kota Madinah. Namun sebagian besar ulama lebih cenderung pada terminologi yang ketiga, yaitu ayat makiyah adalah ayat yang diturunkan sebelum peristiwa hijrah sekalipun turun diluar kota Makkah sedang ayat madaniyah adalah ayat yang diturunkan sesudah peristiwa hijrah sekalipun turun di Makkah.
Dalam konteks Makkiy dan Madaniy, para ahli dibidang ilmu-ilmu Al-Qur’an memberikan dasar klasifikas pada dua istilah tersebut. Dalam hal ini terdapat perbedaan diantara para ahli ilmu-ilmu Al-Qur’an terkait masalah perbedaan istilah Makkiy dan Madaniy. Pendapat pertama memberikan dasar klasifikasi Makkiy dan Madaniy dengan mempertimbangkan tempat, mereka membedakan anatara Makkiy dan Madaniy dengan menjadikan tempat sebagai dasar pemisahan atau klasifikasi Makkiy dan Madaniy, dalam hal ini pendapat mereka adalah, surat-surat atau ayat-ayat yang diturunkan di Makkah dinamakan makiyah, dan surat-surat atau ayat yang diturunkan di Madinah dinamakan madaniyah.
Berikutnya adalah pendapat yang lebih menitikberatkan sasaran pembicara sebagai dasar klasifikasi diantara Makkiy dan Madaniy, pendapat mereka dalam hal ini adalah, surat-surat atau ayat-ayat yang diturunkan untuk orang-orang Makkah atau berdialog kepada penduduk Makkah dinamakan makiyah, dan surat-surat atau ayat yang diturunkan untuk orang-orang Madinah atau berdialog dengan orang-orang Madinah dinamakan madaniyah.
Selain itu ada juga sebuah pendapat yang menjadikan dasar klasifikasi antara Makkiy dan Madaniy berupa tema pembicaraan (maudlu’) suatu surat atau ayat, apabila suatu surat atau ayat berisi tentang persolan yang ada di Makkah, maka dinamakan makiyah, dan sebaliknya apabila suatu surat atau ayat berisikan mengenai persoalan yang ada di Madinah maka dinamakan madaniyah. Pendapat seperti ini tidak banyak dikemukakan oleh banyak pengkaji Makkiy dan Madaniy.
Adapun pendapat terakhir, yaitu pendapat paling terkenal (mashur) dan sekaligus banyak diikuti oleh para ahli dibidang ilmu-ilmu Al-Qur’an, baik ulama klasik, pemikiran barat maupun para sarjana Muslim kontemporer, adalah pendapat yang mendasarkan klasifikasi antara Makkiy dan Madaniy dengan mempertimbangkan waktu sebagai pijakannya, dalam hal ini waktu yang di pakai adalah peristiwa hijrah Nabi Muhammad Saw, dari kota Makkah menuju kota Madinah. Klasifikasi yang lebih menitik beratkan pada waktu ialah bahwa ayat-ayat yang diturunkan kepada Nabi sebulum peristiwa hijrah adalah makiyah, walaupun turun di luar kota Makkah, sementara ayat-ayat yang diturunkan setelah peristiwa hijrah adalah madaniyah, walaupun turun dikota Makkah pada saat Haji Wada’.
Perbagai pendapat mengenai terminologi Makkiy dan Madaniy, sebagaimana tersebut diatas, oleh para ulama, istilah tersebut sekaligus dijakan sebagai dasar klasifikasi antara surat atau ayat makiyah dan madaniyah, baik yang mempertimbangkan waktu, tempat, sasaran dialog atau tema suatu surat atau ayat dalam Al-Qur’an.
Pendapat atau teori yang menjadikan dasar klasifikasi antara Makkiy dan Madaniy dengan mempertimbangkan tempat turunnya wahyu, yaitu ayat-ayat yang turun di Makkah disebut makiyah dan yang turun di Madinah disebut madaniyah, padahal ada beberapa ayat yang tidak turun di Makkah juga tidak di Madinah. Dengan demikian, teori tersebut tidak mencakup semua ayat-ayat Al-Qur’an dari mulai wahyu yang pertama kali diturunkan sampai yang paling akhir diturunkan. Oleh karena itu teori ini mengasumsikan sesuatu yang menjadi penengah diantara kategori Makkiy dan Madaniy, atau dengan lain kata bahwa ayat-ayat atau surat yang diturunkan diluar kota Makkah dan Madinah tidak dikatakan sebagai makiyah atau madaniyah.
Sasaran dialog (khitab) yang oleh sebagian ulama dijadikan sebagai dasar klasifikasi antara yang Makkiy dan Madaniy, dimana yang dimaksud dengan sasaran pembicaraan (khithab) adalah, orang-orang Mu’min dan orang Kafir. Dalam terminolog ini makiyah adalah ayat-ayat yang sasaran pembicaraannya ialah orang-orang Kafir, dengan sebuah asumsi bahwa, orang-orang Kafir banyak terdapat dikota Makkah, sementara madaniyah adalah ayat-ayat yang sasaran pembicaraannya adalah orang-orang mu’min dengan asumsi bahwa orang-orang Mu’min banyak terdapat dikota Madinah.
Dari segi cakupannya terminologi tersebut tidak menjangkau ayat-ayat yang diturunkan berdialog dengan orang-orang atau penduduk selain penduduk Makkah dan Madinah. Akan tetapi, karena yang dikehendaki dalam kalsifikasi antara tersebut berupa sasaran pembicaraan ialah setatus orangnya (Mu’min dan Kafir/Musyrik) maka semua golongan masuk dalam kategori tersebut, sebab golongan yang beriman disebut sebagai Mu’min dan yang tidak beriman disebut Kafir atau Musyrik, baik orang Yahudi maupun Nasrani.
Adapun teori yang paling terkenal (masyhur) adalah sebuah teori menitik beratkan klasifikasi antara Makkiy dan Madaniy dengen berpijak pada waktu berupa peristiwa hijrah Nabi. Apabila suatu ayat atau surat diturunkan sebelum hijrah disebut sebagai makiyah dan yang diturunkan setelah hijrah dikatakan sebagi madaniyah. Teori tersebut ketika diterapkan akan mencakup semua wahyu yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, selama kurang lebih 23 (duapuluh tiga) tahun. Dengan demikian analisis yang dilakukan akan dapat melihat semua ayat tanpa ada satupun yang tertinggal. Oleh karena itu teori tersebut banyak dipilih oleh para pengkaji ilmu-ilmu Al-Qur’an dalam konteks studi Makkiy dan Madaniy baik oleh ulama klasik, pemikiran barat maupun sarjana Muslim kontemporer dengan berbagai argumentasi mengenai teori tersebut.
Adapun masa penurunan wahyu sebelum peristiwa hijrah, terhitung dari semenjak diturunkannya wahyu yang pertama sampai pada masa hijrah Nabi adalah 12 tahun 5 bulan 13 hari. Sementara masa turunnya wahyu Al-Qur’an, mulai dari setelah peristiwa hijrah sampai wahyu yang paling akhir diturunkan adalah 9 tahun 9 bulan 9 hari. Denagn demikian masa beliau mengemban tugas kerasulan apabila dihitung sejak dari sebelum hijrah ke Madinah kurang lebih sekitar 22 tahun 2 bulan 22 hari.
Namun bagi Dr. Subhi Shalih, walaupun klasifikasi antara Makkiy dan Madaniy dengan mempertimbangkan waktu lebih banyak dipilih dan dapat mencakup semua bagian ayat dan surat dalam Al-Qur’an, ketika dilakukan sebuah analisis, bukan berarti tidak mempertimbangkan masalah tempat dan tema pembicaraan serta sasaran dialog (khithab).
Dengan demikian pengertian ayat-ayat makiyah dan madaniyah adalah sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, yaitu sesuai dengan apa yang menjadi pijakan dalam istilah Makkiy dan Madaniy, baik menggunakan waktu, tempat, sasaran bicara, atau bahkan berdasarkan pada tema suatu ayat.
B. Ilmu Makkiy dan Madaniy
Ilmu tentang Makkiy dan Madaniy mempunyai konsep tersendiri dalam kajiannya. Persoalan yang dibahas didalamnya meliputi, pengertian, klasifikasi, metode atau cara yang digunakan untuk mengetahui dan sekaligus menentukan kategorinya, terminologi surat dan ayat makiyah dan madaniyah, ciri-ciri atau kriteria, manfaat mengetahui ayat atau surat makiyah dan madaniyah. Adapun yang menjadi objek kajian dalam ilmu tersebut adalah seluruh surat dan ayat-ayat Al-Qur’an dari mulai yang pertama kali diturunkan sampai yang paling akhir diturunkan. Dengan demikian ilmu Makkiy dan Madaniy mengandaikan pengetahuan mengenai data-data riwayat maupun kronologi mengenai turunnya wahyu (Tartib Al-Nuzul Al-Wahyu) dari yang pertama kali diturunkan sampai yang paling akhir diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Sementara itu, hasil dari studi ilmu Makkiy dan Madaniy, salah satunya adalah memberikan sebuah informasi mengenai kategori surat atau ayat, berupa daftar surat-surat atau atau ayat-ayat yang dapat dikategorikan sebagai surat atau ayat-ayat makiyah dan madaniyah.
Pengertian yang banyak dikemukakan oleh para ulama mengenai ilmu Makkiy dan Madaniy ialah, suatu ilmu yang membahas tentang setatus suatu ayat atau surat dalam Al-Qur’an, terkait masalah waktu dan tempat turunnya suatu ayat, apakah sebagai surat dan ayat makiyah atau madaniyah, dengan menggunakan cara-cara atau metode tertentu. Ilmu Makkiy dan Madaniy (pengetahuan mengenai surat atau ayat makiyah dan madaniyah) lebih banyak membutuhkan penelitian tentang data-data riwayat dan ketetapan yang mendasarinya, dengan bersandar pada fakta sejarah yang benar.
Dalam banyak hal ilmu Makkiy dan Madaniy lebih banyak membutuhkan semua data-data riwayat dari pada yang dibutuhkan oleh ilmu Asbab Al-Nuzul. Sebab, ilmu Asbab Al-Nuzul hanya mencakup masalah tertententu saja mengenai bagian-bagian yang terkait dengan suatu kejadian dan peristiwa yang bersifat individual dan kemasyarakatan, tidak mencakup rincian pengetahuan lain mengenai bagian-bagian Al-Qur’an yang pada mulanya turun tanpa sebab apapun. Lain halnya dengan ilmu Makkiy dan Madaniy, ia sangat membutuhkan pengenalan seluruh isi Al-Qur’an dalam surat-suratnya maupun ayat-ayatnya. Bidang pengetahuan yang menjadi cakupan ilmu Makkiy dan Madaniy demikian luas, sehingga objek penelitiannya juga banyak yang berlainan. Ilmu Makkiy dan Madaniy sekaligus merupakan pengetahuan tentang urutan waktu (kronologi) tentang turunnya surat atau ayat, yaitu mengenai kepastian tempat turunnya, klasifikasi tema suatu ayat serta sasaran pembicaraan yang dimaksud oleh suatu ayat.

C. Cara mengetahui Makkiy dan Madaniy
Metode atau cara untuk dapat mengetahui dan sekaligus membedakan surah atau ayat makiyah dan madaniyah, sebagian besar pengkaji menyandarkan diri, pertama-tama pada riwayat-riwayat dan nash-nash naqli yang mengisahkan suatu ayat atau surah, atau menunjukkan pada waktu atau tempat turunnya ayat, atau berupa Asbab Al-Nuzul, serta bersandar kepada peristiwa-peristiwa sejarah penting yang terjadi pada masa turunnya wahyu Al-Qur’an. Semuanya itu, didasarkan pada pengetahuan sahabat atau tabi’in yang mendapat informasi dari para sahabat, terkait mengenai masalah-masalah yang meliputi turunnya wahyu Al-Qur’an, baik waktu dan tempat turunnya, tema dan objek yang terkandung dalam suatu ayat, serta latar belakang turunnya suatu ayat.
Dalam hal ini terdapat beberapa ungkapan para sahabat terkait pengetahuannya mengenai Al-Qur’an, misalnya ungkapan sahabat Ibnu Mas’ud:
“Demi tuhan yang tidak ada tuhan selain-Nya. Tiadalah diturunkan suatu ayat dari kitab Allah, terkecuali aku mengetahui terhadap siapa ayat itu diturunkan dan dimana ayat itu diturunkan”.

Dalam hal ini, Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilaniy dalam kitab Al-Intishar, memberikan pernyataan yang sangat tegas. Pernyataan tersebut ialah:
“pengetahuan mengenai Makkiy dan Madaniy sepenuhnya adalah mengacu pada hafalan para sahabat dan tabi’in. Sebab, tidak ada suatu keterangan apapun yang datang dari Rasulullah Saw, mengenai hal ini, dan Nabi juga tidak diperintahkan dalam persoalan ini, karena beliau semasa hidupnya tidak pernah mencatat atau membukukan perbedaan mengenai Makkiy dan Madaniy. Allah swt, juga tidak menjadikan pengetahuan tersebut sebagai kewajiban bagi setiap hamba-Nya untuk mengetahuinya. Meskipun ilmu ini juga menjadi kewajiban bagi sebagian ulama untuk mengetahui dan memahami secara detail tentang sejarah Nasikh dan Mansukh. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa ilmu Makkiy dan Madaniy tidak ada ketetapan (nahs) atau sabda dari Rasullullah Saw”.

Dengan bersandar pada argumentasi sebagaimana tersebut diatas, para ulama kemudian memberikan sebuah cara atau metode untuk mengetahui tentang ayat atau surat makiyah dan madaniyah. Al-Ja’bari sebagaimana dikutip oleh Al-Suyuthi mengatakan:
“Untuk dapat mengetahui ayat atau surat makiyah dan madaniyah terdapat dua jalan (cara) yaitu, Sima’iy (jalan riwayat) dan Qiyasiy (jalan membandingkan yang satu dengan yang lain).

Dengan demikian dalam hal ini terdapat dua cara atau metode, yaitu, 1. Metode riwayat atau Sima’iy Naqliy, dan 2. Metode analogi atau Qiyasiy Ijtihadiy”. Pertama, metode Sima’iy-Naqliy yaitu, merujuk kepada riwayat-riwayat yang shahih yang dating dari sahabat yang hidup sezaman dengan masa turunnya wahyu Al-Qur’an serta menyaksikan langsung peristiwa turunnya wahyu tersebut. Atau riwayat dari para tabi’in yang bertemu dan mendengar dari sahabat perihal latar belakang turunnya, tempatnya, dan kejadian yang melatari turunnya suatu surat ataupun ayat. Sebagian besar penentuan Makkiy dan Madaniy yang banyak terdapat pada karya-karya ulama, baik dalam bentuk kitab-kitab Tafsir bi Al-Ma’tsur atau dalam kitab-kitab Ulum Al-Qur’an, adalah dengan menggunakan metode pertama ini.
Kedua, metode analogi atau Qiyasiy-Ijtihadiy yaitu, dengan cara mengidentifikasi ayat atau surah makiyah dan madaniyah dengan melihat ciri-ciri khusus yang menjadi suatu tanda-tanda atau karakteristik bagi ayat atau surah makiyah dan madaniyah. Ciri-ciri surat-surat atau ayat-ayat makiyah dan madaniyah yang telah teridentifikasi, selanjutnya dikiaskan berdasarkan ijtihad untuk menentukan apakah suatu suarat atau ayat termasuk madaniyah atau makiyah. Misalnya, apabila di dalam surat makiyah terdapat suatu ayat yang mengandung ciri-ciri madaniyah, maka mereka simpulkan bahwa ayat itu madaniyah. Begitu pula sebaliknya, kalau di dalam surat madaniyah terdapat ayat yang mencerminkan ciri-ciri ayat makiyah, maka ayat itu dikatakan ayat makiyah. Juga, bila di dalam suatu surat terdapat ciri-ciri surat makiyah, maka surat itu mereka katakan surat makiyah. Dan sebaliknya, bila di dalam suatu surat terdapat ciri-ciri surat madaniyah, maka surat itu mereka katakan surat madaniyah.
Dengan demikian terdapat dua metode yang bisa diterapkan untuk mengetahui ayat-ayat Makiyah dan madaniyah dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama metode deduksi, yaitu metode yang berdasarkan pada dalail Naqliy, yang acap kali disebut juga dengan metode sima’iy. Kedua, metode induksi, yaitu metode yang berdasar pada dalil-dalil rasional atau analogi.
Para penganut metode deduksi berpijak pada riwayat-riwayat, nash-nash dan peristiwa-peristiwa yang memberi petunjuk dan mengisahkan surat-surat dan ayat-ayat, sehingga dengan cara ini bisa diketahui makiyah dan madaniyahnya suatu ayat dan surat. Sedangkan para penganut metode induksi bersandar pada karakteristik-karakteristik yang mereka ketahui, baik dari gaya bahasa (uslub), tema (maudlu’) surat dan ayat serta karakteristik yang lain, yang kemudian dijadikan untuk membedakan diantara keduanya dengan jalan ijtihad.
Namun, bagi Dr. Dawud Al-‘Aththar, metode yang paling tepat adalah mengkombinasikan kedua metode tersebut. Sebab, dengan mengkombinasikan kedua metode tersebut, kesimpulan yang diperoleh, secara ilmiah, akan lebih objektif dan terhindar dari sesuatu yang bersifat kira-kira dan merupakan dugaan saja. Hal ini menurutnya dikarenakan metode deduktif relatif lemah dalam membedakan banyak surat dan ayat makiyah. Sebab, surat dan ayat makiyah tidak memiliki peristiwa-peristiwa penting dan nash-nash yang bisa membantu membedakannya dari surat dan ayat madaniyah. Sementara metode Induksi (Istinbath) merupakan metode analogi, dimana karakteristik-karakteristik dari hal-hal yang di-induksi hanya merupakan “kemungkinan kuat” dan bukan suatu kepastian yang khusus bagi ayat-ayat makiyah dan madaniyah. Oleh karena itu, menurut Dr. Dawud, yang paling kuat adalah kombinasi dari kedua metode tersebut dalam membedakan makiyah dan madaniyah.
Adapun mengenai istilah Makkiy dan Madaniy sebagaimana telah dijelaskan setidaknya ada empat macam, yaitu, berdasarkan pada tempat, waktu dan sasaran pembicaraan dan tema suatu ayat. Namun demikian istilah Makkiy dan Madaniy tersebut sepenuhnya hanya bisa diterapkan pada persoalan mengenai suatu ayat dan tidak bisa diterapkan pada suatu surat, sebab dalam suatu surat tidak semua ayatnya diturunkan secara langsung dan diturunkan sekaligus dari ayat yang pertama sampai yang paling akhir.
Dalam kenyataannya bahwa dalam suatu surat tidak seluruh ayatnya diturunkan secara bersamaan, suatu surat terkadang diturunkan sebagiannya dulu, dikemudian hari diturunkan lagi ayat-ayat yang menjadi bagian dari surat tersebut. Hal ini banyak terjadi dalam surat-surat Al-Qur’an baik yang panjang-panjang (Al-Suwar Al-Thiwal) maupun yang pendek-pendek (Al-Suwar Al-Qishar). Sebagia contoh surat Al-‘Alaq, jumlah ayat dalam surat ini adalah 19 ayat, surat ini termasuk surat yang pendek, sebagian ayat dalam surat tersebut, yaitu ayat yang pertama sampai ayat ke lima diturunkan pada saat nabi menerima wahyu pertama di gua Hira’ di kota Makkah, namun ayat-ayat selanjutnya samapai yang terakhir dari surat ini diturunkan pada masa dakwah Nabi telah tersebar luas diantara kaum Quraisy serta hinaaan orang-orang Quraisy terhadap Nabi.
Selanjutnya pengertian mengenai surat makiyah dan madaniyah sedikit berbeda dengan ayat makiyah dan madaniyah, sebab terkadang dalam suatu surat semua ayatnya termasuk makiyah seperti surat Al-Muddtstsir. Ada juga suatu surat yang mana semua ayatnya adalah termasuk madaniyah, seperti surat Ali Imran. Selain itu, ada pula suatu surat yang didalamnya tidak semua ayatnya adalah termasuk makiyah atau madaniyah, yaitu sebagian besar ayatnya makiyah dan sebagian yang lain adalah madaniyah, seperti surat Al-A’raf. Atau sebagian banyak ayat dalam suatu surat adalah termasuk madaniyah dan sebagian yang lain adalah makiyah seperti surat Al-Hajj.
Selanjutnya, apabila suatu surat yang didalam surat tersebut semua ayatnya adalah termasuk makiyah, maka surat tersebut dikatakan surat makiyah, begitu juga sebaliknya, apabila suatu surat yang didalam surat tersebut semua ayatnya adalah termasuk madaniyah, maka surat tersebut dikatakan surat madaniyah. Namun apabila suatu surat tidak semua ayat di dalamnya adalah termasuk makiyah atau madaniyah, maka para ulama menentukan dengan menggunakan dua cara:
Pertama, berdasarkan kebanyakan ayatnya. Apabila suatu surat kebanyakan ayat didalamnya adalah termasuk makiyah, maka surat tersebut dinamakan makiyah. Begitu pula sebaliknya, apabila suatu surat kebanyakan ayat didalamnya adalah termasuk madaniyah, maka surat tersebut dinamakan Madaniyah.
Kedua, berdasrkan pembukaan atau permulaan ayat pada suatu surat. Apabila suatu surat, beberapa ayat yang menjadi pembuka dalam surat tersebut adalah termasuk makiyah, maka surat tersebut dikatakan makiyah, meskipun ayat-ayat selanjutnya adalah makiyah atau madaniyah. Sebaliknya, apabila suatu surat, beberapa ayat yang menjadi pembuka dalam surat tersebut adalah termasuk madaniyah, maka surat tersebut dikatakan madaniyah, meskipun ayat-ayat selanjutnya adalah makiyah atau madaniyah. Oleh sebab itu dalam hal ini Al-Zarqani berpendapat:
“Surat makiyah ialah jika pembukaan suratnya diturunkan sebelum hijrah, dan surat madaniyah ialah jika pembukaan suratnya di turunkan sesudah hijrah. Dimana kemudian disebutkan beberapa pengecualian yang ada pada tiap-tiap surat tersebut jika ada.

Selanjutnya Al-Zarqani membagi surat-surat dalam Al-Qur’an menjadi empat bagian, yaitu surat makiyah, surat madaniyah, surat makiyah kecuali beberapa ayat dan surat madaniyah kecuali beberapa ayat dalam surat tersebut adalah makiyah. Oleh karena itu penentuan kategori surat-surat makiyah dan madaniyah tidak hanya berdasarkan salah satu macam klasifikasi antara makiyah dan madaniyah berupa tempat, waktu, sasaran pembicaraan atau tema suatu ayat, namun disamping pertimbangan tersebut, penentuan kategori surat-surat makiyah dan madaniyah juga didasarkan pada kebanyakan kategori ayat yang ada pada suatu surat atau pembukaan suatu surat, apakah termasuk makiyah atau madaniyah.

D. Ciri-ciri Makkiy dan Madaniy

Masalah ciri-ciri atau karakteristik yang terdapat pada surat atau ayat Makkiy dan Madaniy—sebagaimana surat dan ayat makiyah dan madaniyah—bukanlah merupakan suatu perkara yang memiliki nash dan riwayat yang sahih, baik secara matan maupun sanad. Hal ini juga bukan pula berkaitan dengan peristiwa sejarah yang mashur yang bisa dijadikan ciri khas bagi Makkiy maupun Madaniy.
Perhatian yang diberikan oleh para ulama terkait masalah Makkiy dan Madani terbilang sangat mendalam. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang telah dilakukan bukan hanya menentukan setatus makiyah dan madaniyah suatu surat atau ayat saja, lebih dari itu, para ulama juga telah meneliti dengan cermat karakteristik dan ciri-ciri yang terdapat pada masing-masing surat atau ayat makiyah dan madaniyah. Karakteristik tersebut baik berupa gaya bahasa, tema suatu ayat atau surat, penggunaan kata-kata dan ketentuan-ketentuan yang ada pada masing-masing surat dan ayat makiyah dan madaniyah. Dari situ mereka dapat menghasilkan kaidah-kaidah dengan ciri-ciri tersebut.
Penelitian mengenai ciri-ciri atau karakteristik tersebut dilakukan sebagai cara untuk mengetahui apakah sebuah ayat atau surah termasuk makiyah atau madaniyah, dimana salah satu cara untuk mengetahui makiyah dan madaniyah adalah dengan menggunakan metode qiyas yang bertumpu pada ciri-ciri atau karakteristik makiyah dan madaniyah.
Sebagaimana telah ditegaskan bahwa masalah ciri-ciri atau karakteristik yang terdapat pada surat atau ayat makiyah dan madaniyah yang telah dihasilkan dari penelitian para ulama dan pengkaji Makkiy dan Madaniy, bukan merupakan suatu perkara yang memiliki ketetapan (nash) dan riwayat yang sahih yang datang dari Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, ciri-ciri Makkiy dan Madaniy, terutama yang berkaitan dengan gaya bahasanya, dan yang membedakan (secara umum) ayat-ayat dan surat-surat makiyah dari ayat-ayat dan surat-surat madaniyah, bukanlah merupakan cirri-ciri dan karakteristik yang sangat detail dan cermat, yang mencakup semua ayat dan surat dalam Al-Qur’an , melainkan hanya merupakan hasil dari fungsi tarjih (pencarian pendapat yang lebih kuat). Sebab sangat mungkin terdapat surat madaniyah yang mengandung cirri-ciri kususu dalam susunan dan gaya bahasa (uslub) yang dimiliki oleh madaniyah, namun terdapat pula surat makiyah yang mengandung cirri-ciri kusus dalam segi uslub yang dimiliki oleh surat-surat madaniyah. Oleh karaena itu tidak ada celah yang memungkinkan bagi kita untuk mengutamakan praduga (Al-Dzann), dan tidak pula dibenarkan memberi ciri-ciri Makkiy dan Madaniy tanpa landasan suatu ilmu.
Kendati demikian, dalam hal ini tetap terdapat ciri-ciri tematik yang bisa saja memberikan kepastian mengenai corak suatu surah atau ayat yang tidak diragukan kebenarannya. Misalnya ayat-ayat yang berebicara tentang hukum-hukum perang, ketetapan undang-undang negara, hak-hak politik dan hal-hal lainnya. Tema-tema tersebut dapat dijadikan petunjuk untuk menentukan bahwa ayat-ayat atau surat-surat tersebut adalah madaniyah dan diturunkan sesudah terbentuknya negara Islam di Madinah.
Sebagian dari ciri-ciri seperti itu juga dapat ditemukan dalam gaya penuturan ayat yang bisa kita gunakan untuk mendukung suatu kemungkinan atas kemungkinan yang lain, seperti kekuatan dalam tekanan pembicaraan, gaya bahasa, ayatnya pendek-pendek, yang merupakan ciri-ciri ayat-ayat makiyah, yang menekankan pada penanaman akidah dan seruan pada tauhid. Dilain pihak, pada umumnya surat-surat madaniyah menggunakan ungkapan yang sejuk, pembentukan misi (risalah), perincian hukum-hukum, ayatnya panjang-panjang dan berisi seruan untuk menerapkan hukum syara’.
Adapun ciri-ciri dan ketentuan yang terdapat pada masing-masing Makkiy dan Madaniy selanjutnya dapat disimpulkan sebagai berikut,
1. Ciri-ciri surat dan ayat makiyah:
a. Dari segi gaya bahasanya :
1. Secara umum surat-surat dan ayat-ayatnya pendek-pendek
2. Banyak terjadi perdebatan (mujadalah) antara para rasul dengan kaumnya, karena kebanyakan ditujukan kepada orang-orang yang memusuhi dan menentang.
3. Banyak terdapat ungkapan sumpah.
4. Banyak menggunakan ungkapan Ya Ayyuha Al-Nass dan jarang menggunakan Ya Ayyuha Al-Ladzina.
b. Dari segi temanya :
1. Seruan terhadap prinsip-prinsip akidah, seperti masalah iman kepada Allah, hari kiamat, gambaran tentang kehidupan dihari akhir dan pembalasan setiap amal didunia, gambaran tentang surga dan neraka serta para penghuninya.
2. Seruan menuju jalan yang lurus.
3. Seruan untuk berpegang pada akhlak yang luhur dan perbuatan baik.
4. bantahan terhadapakau kaum Musyrikin, penegasan tentang batalnya akidah mereka, dan pembuktian terhadap kesempitan otak mereka.
5. Terdapat banyak ayat-ayat yang berbicara tentang kisah-kisah umat terdahulu kisah para nabi terdahulu dan umatnya, kisah Adam dan Iblis.
c. Ketentuan surat makiyah :
1. Setiap surat yang didalamnya terdapat ayat sajadah.
2. Setiap surat yang didalamnya terdapat lafadz “Kalla”
3. Setiap surat yang dimulai dengan huruf-huruf Hijaiyah.
4. Setiap surat yang didalamnya terdapat kisah Adam dan Iblis.
5. Setiap surat yang didalamnya terdapat seruan (Nidaa’) berupa Ya Ayyuha Al-Nass dan tidak terdapat seruan (Nidaa’) berupa ya ayyuha Al-ladzina Aamanu.
2. Ciri-ciri surat dan ayat madaniyah:
a. Dari segi gaya bahasa
1. Ayat-ayat dan surat-suratnya panjang-panjang
2. Ungkapannya dengan menggunakan nada halus dan lembut dalam konteks pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas menerima dakwah Nabi.
3. Kata-katanya menggunakan gaya bahasa yang memantapkan syari’at serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.
4. Terdapat bentuk dialog antara nabi dengan para ahli kitab (yahudi dan nashrani)
b Dari segi temanya:
1. Menjelaskan tentang masalah ibadah, Mu’amalah, Had, kekeluargaan, Waris, Jihad, hubungan sosial, hubungan internasional, baik diwaktu damai maupun perang, kaidah-kaidah hukum, dan masalah perundang-undangan.
2. Seruan terhadap ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan ajakan pada mereka untuk masuk Islam, penjelasan penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah Swt, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka, karena rasa dengki diantara mereka.
3. Menyingkap perilaku orang-orang munafiq, menganalisis kejiwaanya, membuka kedoknya, dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.
c. Ketentuan surat madaniyah:
1. Setiap surat yang didalamnya berisi penjelasan tentang hukuman-hukuman (had) tindak pidana, warisan, masalah perdata.
2. Setiap surah yang di dalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab.
3. Setiap surat yang didalamnya terdapat izin untuk berjihad, atau ada penjelasan tentang masalah jihad dan penjelasan tentang hukum-hukumnya
4. Setiap surat yang didalamnya terdapat penjelasan mengenai hal ihwal tentang orang-orang munafiq.
Karakteristik dan ciri-ciri yang terdapat pada surat-surat dan ayat-ayat makiyah dan madaniyah sebagaimana telah dijelaskan adalah beberapa karakteristik dan cirri-ciri secara umum namun tidak pasti. Dan apabila diterapakan suatu surat secara umum, maka hal itu tidak berarti bahwa semua ayatnya adalah makiyah atau madaniyah. Sebab terkadang ada suatu pengecualian bahwa dalam surat madaniayah itu terdapat ayat-ayat makiyah, dan sebaliknya dalam surat Makiyah itu terdapat ayat-ayat madaniyah.
Disisi lain, terkadang sebagian surat atau ayat termasuk makiyah atau madaniyah, akan tetapi didalamnya dijumpai beberapa karakteristik gaya pengungkapan dalam surat makiyah, contohnya seperti surat Al-Baqarah. Surat tersebut adalah madaniyah tetapi didalamnya terdapat suatu ayat yang berbunyi,


Artinya:Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (QS.Al-Baqarah:21)

Dan juga terdapat ayat lain yaitu,

Artinya: Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.(QS.Al-Baqarah:168)
Selain itu, sebagian dari karakteristik yang berlaku dalam surat madaniyah dapat ditemukan dalam surat makiyah, contohnya seperti terdapat dalam surat Al-Hajj. Surat ini termasuk makiyah, akan tetapi didalamnya terdapat ayat yang berbunyi,


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (QS.Al-Hajj: 77).

Sementara itu, ketika dikatakan bahwa, diantara keistimewaan surat-surat dan ayat-ayat makiyah adalah bentuk ungkapannya yang singkat dan pendek-pendek, sementara pada surat-surat dan ayat-ayat madaniyah menggunakan ungkapan yang panjang-panjang. Hal ini tidak kemudian berarti bahwa semua makiyah dan madaniyah seperti itu keadaannya. Sebab, dalam kenyataannya terdapat juga surat madaniyah yang pendek seperti surat Al-Nashr. Surat ini terdiri dari tiga ayat, Surat Al-Zalzalah juga termasuk surat yang pendek, terdiri dari delapan ayat, dan surat Al-Bayyinah, terdiri dari delapan ayat. Akan tetapi semuanya termasuk surat-surat madaniyah. Dilain pihak surat Al-An’am dan surat Al-‘Araf termasuk surat-surat makiyah padahal surat tersebut sangat panjang dan ayat-ayat didalamnya juga panjang-panjang.
Oleh karena itu, hendaknya karakteristik-karakteristik dan ciri-ciri sebagaiman yang telah disebutkan, tidak dijadikan sebagai pusat penyebaran keraguan untuk menuduh Al-Qur’an terpengaruh oleh lingkungan, sehingga terdapat unsure manusiawi didalamnya, tetapi perbedaan-perbedaan karakteristik yang secara umum terdapat dalam surat makiyah dan madaniyah, baik ditinjau dari segi gaya bahasa maupun temanya, merupakan pemeliharaan terhadap lingkungan dakwah Islamiah yang tidak memerlukan usaha secara susah payah, dengan menjadikan semua perantara (washilah) yang efektif, terprogram dan memiliki dampak yang kuat dalam rangka menjamin bagi penyebaran dan penanaman pengaruhnya di suatu lingkungan dan tempat. Dan bahwa semuanya itu adalah termasuk dari suatu hikmah yang terdapat dalam Al-Qur’an.

E. Urgensi Pengetahuan Makkiy dan Madaniy
Ilmu Makkiy dan Madaniy perlu memperoleh perhatian secukupnya dan patut dipandang sebagai titik tolak para ulama dalam penelitian mereka mengenai tahapan-tahapan dakwah Islam. Manna’ Al-Qattan dalam konteks ini menyatakan:
“Para ulama begitu tertarik untuk menyelidiki surat-surat Makkiy dan Madaniy, mereka meneliti Al-Qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat untuk ditertibkan sesuai dengan turunnya, dengan memperhatikan waktu, tempat dan pola kalimat. Cara demikian merupakan ketentuan cermat yang memberikan pada penelitian yang obyektif, berupa gambaran penyelidikan tentang ilmu Makkiy dan Madaniy. Dan itu pula sikap ulama kita dalam melakukan pembahasan-pembahasan terhadap aspek kajian Al-Qur’an lainnya. Memang suatu usaha besar bila seorang peneliti menyelidiki turunnya wahyu dalam segala tahapannya, mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an sehingga dapat menentukan waktu dan tempat turunnya dan dengan bantuan tema surat atau ayat, merumuskan kaidah-kaidah analogis untuk menentukan apakah sebuah seruan itu termasuk makkiy dan madaniy ataukah ia merupakan tema-tema yang menjadi titik tolak dakwah di Makkah atau di Madinah. Apabila suatu masalah masih kurang jelas bagi seorang peneliti karena terlalu banyak alasan yang berbeda-beda,maka ia mengumpulkan, memperbandingkan, mengklasifikasikannya mana yang serupa dengan yang turun di Makkah mana pula yang turun di Madinah”.

Perhatian yang sangat besar dan cermat telah diberikan oleh para sahabat tentang Al-Qur’an terkait masalah ayat-ayat dan surat yang telah diturunkan kepada Nabi. Mereka menertibkan surah-surah sesuai dengan tempat turunnya, mereka mengatakan misalnya: “surah ini diturunkan setelah surah itu..”dan bahkan lebih cermat lagi sehingga mereka membedakan antara yang diturunkan dimalam hari dengan yang diturunkan disiang hari, antara yang diturunkan di musim panas dengan yang diturunkan di musim dingin, dan antara yang diturunkan diwaktu sedang berada dirumah dengan yang diturunkan disaat bepergian.
Dalam konteks ini, kita dapat menemukan beberapa tanda-tanda atau petunjuk para sahabat, bahwa mereka sangat berhati-hati terkait mengenai tempat, waktu dan sasaran pembicaraan (khitab) suatu ayat. Mereka dapat menunjukkan waktu dan temapt dimana suatu ayat diturunkan. Kehati-hatian mereka adalah merupakan suatu pondasi yang kuat dalam penulisan sejarah Islam.
Abul Qasim Al-Hasan bin Muhammad bin Habib Al-Naisaburi menyebutkan dalam kitabnya Al-Tanbih Ala Fadla’il fi `Ulum Al-Qur`an:
“Diantara ilmu-ilmu Al-Qur`an yang paling mulia adalah ilmu tentang turunnya Al-Quran dan daerahnya, urutannya di Makkah dan Madinah, tentang yang diturunkan di Makkah tapi hukumnya Madaniy dan sebaliknya, yang diturunkan di Makkah mengenai penduduk Madinah dan sebaliknya. Yang serupa dengan yang diturunkan di Makkah (Makkiy) tetapi termasuk Madaniy dan sebaliknya, dan tentang yang diturunkan di Juhfah, di Baitul Maqdis, di Tha’if atau di Hudaibiyah. Demikian juga yang diturunkan di waktu malam, di waktu siang. Diturunkan secara bersama-sama (semua ayat-ayatnya dalam satu surat), atau yang diturunkan secara tersendiri, ayat-ayat madaniyah dalam surat-surat makiyah, ayat-ayat makiyah dalam surat-surat madaniyah, yang dibawa dari Makkah ke Madinah dan yang dibawa dari Madinah ke Makkah, yang dibawa dari Makkah ke Abisini, yang diturunkan dalam bentuk global dan yang telah di jelaskan, serta yang di perselisihkan sehingga sebagian orang mengatakan Madaniy dan sebagian lain mengatakan Makkiy. Itu semua ada dua puluh lima macam. Orang yang tidak mengetahuinya dan tidak dapat membedakannya, ia tidak berhak berbicara tentang Al-Qur’an.”

Pengetahuan mengenai Makkiy dan Madaniy oleh sebagian ulama dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting. Sebab, tidak diragukan lagi, bahwa dalam Makkiy dan Madaniy terdapat sekian banyak manfaat serta faedah yang bisa didapatkan setelah seseorang benar-benar mengetahui secara komprehensif dari paelbagai aspek mengenai Makkiy dan Madaniy. Dalam konteks ini terdapat beberapa hal mengenai manfaat pengetahuan tentang Makkiy dan madani yang telah banyak dikemukakan oleh para ulama. Diantaranya adalah:
1. Penafsiran
Untuk dijadikan sebagai alat bantu dalam menafsirkan Al-Qur’an , sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan penafsiran yang benar. Sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafadz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seorang penafsir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh, bila diantara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif, maka yang datang kemudian tentu merupakan nasikh (menghapus) yang terdahulu.
2. Gaya Bahasa
Meresapi gaya bahasa Al-Quran dan memanfaatkannya dalam metode dakwah menuju jalan Allah. Sebab setiap situasi mempunyai bahasa dan gaya unkapan tersendiri. Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi turunnya Al-Qur’an merupakan arti paling khusus dalam retorika. Karakteristik gaya bahasa Makkiy dan Madaniy dalam Al-Qur’an juga memberikan kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan Allah yang sesuai dengan psikologi lawan berbicara dan menguasai pikiran dan perasaaannya serta menguasai apa yang ada dalam dirinya dengan penuh kebijaksanaan.
Setiap tahapan dakwah mempunyai topik dan pola penyampaian tersendiri. Pola penyampaian itu berbeda-beda. Sesuai dengan perbedaan tata cara, keyakinan dan kondisi lingkungan. Hal yang demikian nampak jelas dalam berbagai cara Al-Qur’an menyeru berbagai golongan; orang yang beriman, yang Musyrik, yang Munafiq dan Ahli kitab. Dengan demikian kondisi masyarakat masing-masing dari penduduk Makkah dan Madinah juga dapat diketahui melalui pengamatan terhadap gaya bahasa yang terdapat pada ayat-ayat makiyah dan madaniyah.
3. Sejarah Nabi (sikap prilaku dan dakwah Nabi)
Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Al-Qur’an. Sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah Saw, sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwanya, baik dalam periode Makkah maupun Madinah. Sejak permulaan turun wahyu hingga ayat terakhir yang diturunkan. Al-Qur’an adalah sumber pokok bagi peri kehidupan Rasulullah Saw, peri kehidupan beliau yang diriwayatkan oleh para ahli sejarah harus sesuai dengan Al-Qur’an, dan Al-Qur’an juga memberikan kata putus terhadap perbedaan riwayat yang mereka riwayatkan.
4. Mutlaq dan Muqayyad
Pengetahuan mengenai Makkiy dan Madaniy dapat memberikan manfaat mengenai masalah kata-kata yang terdapat dalam Al-Qur’an yang Mutlaq dan yang Muqayyad.


5. Kronologi turunnya wahyu Al-Qur’an
Apabila penelitian mengenai dilanjutkan lebih luas, sangat terbuka kemungkinan untuk mengetahui secara kronologis penurunan ayat-ayat Al-Qur’an dari mulai pertama kali diturunkan sampai ayat yang terakhir diturunkan kepada Nabi. Dalam konteks ini tidak jarang para pengkaji ilmu Makkiy dan Madaniy, (baik dari kalangan ulama klasik maupun pemikir Muslim kontemporer serta para peneliti dari barat) yang pada tahapan selanjutnya menjelaskan tentang kronologi turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Penjelasan mengenai kronologi tersebut ada yang menggunakan penjelasan tartib surat demi surat, fase-fase makiyah dan fase-fase madaniyah. Bahkan menurut Abdul Mun’im, terdapat segolongan ulama di kota Beirut, Libanon yang tetap berpegang pada Al-Qur’an yang dalam sistematika penulisannya disesuaikan dengan urutan kronologis turunya ayat-ayat Al-Qur’an.
6. Sejarah Pensyari’atan Islam (Tarikh Tasyri’)
Mempelajari Makkiy dan Madaniy, sekaligus mengamati ayat demi ayat, akan dapat memberikan sebuah pengetahuan dan mengerti tentang sejarah pensyari’atan hukum-hukum Islam (tarikh tasyri’) yang sangat bijaksana dalam setiap ketetapannya, sekaligus dalam penerapan peraturan-peratuan dalam Islam, disamping juga akan dapat mengetahui hikmah disyari’atkannya suatu hokum (hikmah al-tasyri’). Sebab, dengan Makkiy dan Madaniy akan dapat diketahui suatu hikmah tasyri’ yang dalam penerapannya dalam Islam adalah dilakukan secara bertahap, sehingga dapat pula diketahui mengapa suatu hukum disyari’atkan. Dan dengan sebab mengetahui tentang hikmah tasyri’-nya suatu hukum, akan dapat menambah keimanan seseorang terhadap pewahyuan Al-Qur’an, karena melihat kebijaksanaannya dalam menetapkan hukum-hukum dan ajarannya secara bertahap, sehingga akan mudah dimengerti, dihayati dan selanjtnya menumbuhkan semangat dalam mengamalkan isi kandungan Al-Qur’an.
Selain itu, terkait dengan pangamalan terhadap isi kandungan Al-Qur’an, menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana dikutip oleh Zainu mengatakan,
“Ayat-ayat makiyah yang berisikan seruan untuk bersabar terhadap siksaan orang-orang kafir dan belum perlu melakukan konfrontasi dengan kaum kafir, relevan untuk dipraktekkan pada masa-masa awal Islam, karena kaum muslimin pada saat itu dalam kondisi lemah. Sedangkan ayat-ayat madaniyah yang berisikan seruan jihad dan perlunya sebuah kekuatan, relevan untuk dipraktekkan pada saat barisan kaum muslimin sudah kuat dan mapan. Ayat-ayat makiyah itu relevan bagi orang-orang Muslim yang keadaannya masih sangat lemah, yang baginya sangat tidak mungkin untuk dapat menolong agama Allah dan Rasulnya dengan kekuatan tangan atau lisannya. Dalam keadaan seperti itu, ia hanya bisa melakukan jihad dengan hal-hal lain yang menurutnya mampu untuk dilakukan, yaitu dengan hati atau sejenisnya. Sedangkan ayat-ayat madaniyah relevan bagi setiap Muslim yang sudah kuat, yang mampu menolong agama Allah dan Rasulnya, baik dengan menggunakan lisan atau tangannya. Dengan ayat-ayat inilah kaum muslimin pada akhir kehidupan Rasullullah pada masa-masa kekhalifahan. Begitu seterusnya sampai hari kebangkitan dan akan selalu ada suatu kelompok dari umat Muslim ini yang menegakkan kebenaran dan, menolong agama Allah dan rasulnya dengan pertolongan yang sempurna.
Dengan demikian, beberapa hal mengenai urgensi serta faedah tentang Makkiy dan Madaniy sebagaiman telah dijelaskan, menandakan bahwa memahami Al-Qur’an secara komprehensif akan menjadikan wawasan terhadap isi kandungan Al-Qur’an secara utuh. Oleh sebab itu, Al-Qur’an yang telah dikumpulkan melalui proses penyampaian, pencatatan, pengumpulan catatan dan kodifikasi hingga menjadi mushaf tidak akan sia-sia, termasuk juga dalam rangka mengetahui letak ayat atau surat yang Makkiy atau yang Madaniy yang pada akhirnya diharapkan bisa mengamalkan isi kandunagn Al-Qur’an sesuai dengan hal-hal yang ada pada priodesasi turunnya Al-Qur’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar