MENU

Minggu, 18 Juli 2010

A. MODEL PEMBELAJARAN LEARNING BY DOING


1. Dasar dan Tujuan Model Pembelajaran Learning by Doing
Belajar bagi kehidupan manusia menjadi bagian yang sangat penting, karena manusia diciptakan sebagai pengelola dunia (khalifah fil ardi). Secara bertahap mereka akan mengalami fase pembelajaran yang didasarkan pada pengalaman. Sebagai ilustrasi terdekat adalah bayi manusia yang dilahirkan, jika tidak mendapat bantuan dari manusia dewasa yang lain, tidak belajar, niscaya binasalah ia. Ia tidak mampu mengembangkan naluri/intrinsik dan potensi-potensi yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya tanpa pengaruh dari luar.
Beberapa pendapat tentang pengertian belajar banyak disebutkan, diantaranya, Hilgard dan Bower dalam bukunya Theories of Learning yang dikutip oleh Ngalim Purwanto dalam Psikologi Pendidikan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalaman berulang-ulang dalam situasi tersebut, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat dan sebagainya). Lebih lanjut Piaget berpendapat seperti yang disadur Dimyati dan Mudjiono bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungan yang selalu mengalami perubahan, sehingga fungsi intelek semakin berkembang. Pengetahuan dibangun atas dasar tiga bentuk, yaitu pengetahuan fisik, pengetahuan logika-matematik, dan pengetahuan sosial. Sedangkan prosesnya didasarkan tiga fase, yaitu fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Fase eksplorasi mengarahkan siswa mempelajari gejala dengan bimbingan, fase pengenalan konsep adalah mengenalkan siswa akan konsep yang berhubungan dengan gejala, sedangkan fase aplikasi konsep, siswa menggunakan konsep untuk meneliti gejala lain lebih lanjut.
Uraian tersebut merupakan proses internal yang kompleks dan melibatkan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Kompleksitas belajar dapat dipandang dari dua subyek, yaitu dari siswa dan dari guru. Siswa secara lagsung mengalami proses mental dalam menghadapi bahan belajar berupa; keadaan alam, hewan, tumbuh-tumbuhan, manusia dan bahan yang telah terhimpun dalam literatur. Proses belajar diamati dari prilaku belajar tentang sesuatu hal, proses ini dapat diamati secara tidak langsung, yaitu proses internal siswa tidak dapat diamati langsung, tetapi dapat dipahami oleh guru.
Sebagai upaya merancang, mengelola dan mengembangkan program pembelajaran dalam kegiatan mengajar, guru diharapkan mampu mengenal faktor-faktor penentu kegiatan pembelajaran, diantaranya:
a. Karakteristik tujuan, yang mencakup pengetahuan, ketrampilan, dan nilai yang ingin dicapai atau ditinggalkan sebagai hasil kegiatan.
b. Karakteristik mata pelajaran/bidang studi, meliputi tujuan isi pelajaran, urutan, dan cara mempelajarinya.
c. Karakteristik siswa, meliputi karakteristik prilaku masukan kognitif dan afektif, usia, jenis kelamin dan yang lain.
d. Karakteristik guru, meliputi filosofinya tentang pendidikan dan pembelajaran, kompetensinya dalam teknik pembelajaran, kebiasaanya, pengalaman kependidikanya dan yang lain.
Hubungan faktor-faktor penentu tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Peran guru dalam hal ini adalah tetap konsisten untuk mempertimbangkan faktor eksternal (diluar dari guru), faktor internal (dalam diri guru), sehingga teknik-teknik pembelajaran efektif dapat dilaksanakan.
Pola pengajaran guru berkaitan erat dengan pilihan metode, jika bahan pelajaran disajikan secara menarik besar kemungkinan motivasi belajar siswa akan meningkat. Sesuai yang disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa model adalah acuan dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan. Keterkaitan dengan pembelajaran sesuai ungkapan Ngalim Purwanto dalam Psikologi Pendidikan yang mengutip pendapat Morgan dalam bukunya Introduction to Psichology mengemukakan “Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman. Metode yang dimaksud didasarkan pada model pembelajaran yang dipakai, model pembelajaran dalam hal ini diartikan sebagai acuan proses perubahan tingkah laku yang dihasilkan melalui pengalaman.
Keterlibatan langsung anak didik dalam proses edukatif menjadi pengalaman terarah yang diharapkan mengakar pada diri anak didik. Karena pengalaman memberikan arah positif pada seleksi dan organisasi terhadap berbagai materi dan metode pendidikan yang cocok, inilah upaya untuk memberikan arah baru bagi tugas sekolah. Dengan demikian belajar merupakan proses yang tidak bertujuan mengembangkan secara spontan segala potensi bawaan, melainkan bertujuan merangsang proses perkembangan yang berlangsung melalui suatu urutan tahap yang tetap, dengan cara menyajikan berbagai masalah dan konflik riil yang dapat diatasi atau diselesaikan oleh anak secara aktif “by doing it”.

2. Bentuk-bentuk Learning by Doing
Interaksi edukatif selayaknya dibangun guru berdasarkan penerapan aktivitas anak didik, yaitu belajar sambil melakukan (Learning by doing). Melakukan aktivitas atau bekerja adalah bentuk pernyataan dari anak didik bahwa pada hakekatnya belajar adalah perubahan yang terjadi setelah melakukan aktivitas atau bekerja. Pada kelas-kelas rendah di Sekolah Dasar, aktivitas ini dapat dilakukan sambil bermain sehingga anak didik akan aktif, senang, gembira, kreatif serta tidak mengikat.
Lebih lanjut guru memposisikan sebagai penunjuk jalan saja, pengamat tingkah laku anak, dengan pengamatanya tersebut ia dapat menentukan masalah yang akan dijadikan pusat minat anak. Kondisi demikian merupakan perbaikan dari paradigma pendidikan lama, yang tidak memberikan ruang bagi siswa. Di Sekolah kuno murid hanya mendengarkan. It is made for listening! Kata Dewey seperti yang dikutip Muis Sad Iman dalam bukunya Pendidikan Partisipatif. Keadaan seperti itu wajib dirubah. Anak harus bersama-sama, menyelidiki dan mengamati sendiri, berfikir dan menarik kesimpulan sendiri, membangun dan menghiasi sendiri sesuai dengan insting yang ada padanya. Tampaklah disini anak belajar sambil bekerja dan bekerja sambil belajar. Inilah makna istilah Learning by doing yang dikehendaki oleh Dewey dalam do school.
Keterlibatan siswa tidak hanya sebatas fisik semata, tetapi lebih dari itu terutama adalah keterlibatan mental emosional, keterlibatan dengan kegiatan kognitif dalam pencapaian dan perolehan pengetahuan, penghayatan dan internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan sikap dan nilai, dan juga pada saat mengadakan latihan-latihan dalam pembentukan ketrampilan.
Pada aspek lain guru juga menkondisikan anak didik dengan menggunakan bentuk-bentuk pengajaran dalam konteks learning by doing, diantaranya:
a. Menumbuhkan motivasi belajar anak
Motivasi berkaitan erat dengan emosi, minat, dan kebutuhan anak didik. Upaya menumbuhkan motivasi intrinsik yang dilakukan guru adalah mendorong rasa ingin tahu, keinginan mencoba, dan sikap mandiri anak didik, sedangkan bentuk motivasi ekstrinsik adalah dengan memberikan rangsangan berupa pemberian nilai tinggi atau hadiah bagi siswa berprestasi dan sebaliknya.
b. Mengajak anak didik beraktivitas
Adalah proses interaksi edukaktif melibatkan intelek-emosional anak didik untuk meningkatkan aktivitas dan motivasi akan meningkat. Bentuk pelaksanaanya adalah mengajak anak didik melakukan aktivitas atau bekerja di laboratorium, di kebun/lapangan sebagai bagian dari eksplorasi pengalaman, atau mengalami pengalaman yang sam sekali baru.
c. Mengajar dengan memperhatikan perbedaan individual
Proses kegiatan belajar mengajar dilakukan dengan memahami kondisi masing-masing anak didik. Tidak tepat jika guru menyamakan semua anak didik karena setiap anak didik mempunyai bakat berlainan dan mempunyai kecepatan belajar yang bervariasi. Seorang anak didik yang hasil belajarnya jelek dikatakan bodoh. Kemudian menyimpulkan semua anak didik yang hasil belajarnya jelek dikatakan bodoh. Kondisi demikian tidak dapat dijadikan ukuran, karena terdapat beberapa faktor penyebab anak memiliki hasil belajar buruk, antara lain; faktor kesehatan, kesempatan belajar dirumah tidak ada, sarana belajar kurang, dan sebagainya.
d. Mengajar dengan umpan balik
Bentuknya antara lain; umpan balik kemampuan prilaku anak didik (perubahan tigkah laku yang dapat dilihat anak didik lainnya, pendidik atau anak didik itu sendiri), umpan balik tentang daya serap sebagai pelajaran untuk diterapkan secara aktif. Pola prilaku yang kuat diperoleh melalui partisipasi dalam memainkan peran (role play).
e. Mengajar dengan pengalihan
Pengajaran yang mengalihkan (transfer) hasil belajar kedalam situasi-situasi nyata. Guru memilih metode simulasi (mengajak anak didik untuk melihat proses kegiatan seperti cara berwudlu dan sholat) dan metode proyek (memberikan kesempatan anak untuk menggunakan alam sekitar dan atau kegiatan sehari-hari untuk bertukar pikiran baik sesama kawan maupun guru) untuk pengalihan pengajaran yang bukan hanya bersifat ceramah atau diskusi, tetapi mengedepankan situasi nyata.
f. Penyusunan pemahaman yang logis dan psikologis
Pengajaran dilakukan dengan memilih metode yang proporsional. Dalam kondisi tertentu guru tidak dapat meninggalkan metode ceramah maupun metode pemberian tugas kepada anak didik. Hal ini dilakukan sesuai dengan kondisi materi pelajaran.

3. Peran Pengalaman dalam Pembelajaran
Berangkat dari refleksi model pendidikan tradisional yang bersifat dogmatis yang hanya mewariskan segala pengetahuan terhadap generasi baru tanpa didasarkan pada pengujian kritis terhadap prinsip-prinsip fundamentalnya, tidaklah berlebihan jika John Dewey memberikan pemikiran bahwa pendidikan harus mempunyai perubahan orientasi, yaitu pendidikan gaya baru yang menekankan kebebasan pelajar.
Alasan tersebut didasarkan pada pandangan terhadap pendidikan gaya lama yang lebih memaksakan pengetahuan dan jauh dari nilai penunjukan bagi pengalaman pribadi. Anggapan terhadap ketidakpastian itu terdapat suatu kerangka acuan yang tetap, yaitu hubungan organis antara pendidikan dan pengalaman pribadi, atau bahwa filsafat baru mengenai pendidikan itu mengikatkan dirinya pada sejenis filsafat empiris dan eksperimental.
Pengalaman secara kualitas dapat dibedakan menjadi dua aspek, aspek pertama ialah aspek langsung, yaitu menyenangkan dan tidak menyenangkan. Aspek kedua adalah pengaruhnya atas berbagai pengalaman kemudian. Uraian terakhir merupakan prinsip yang melandasi mengapa pendidikan berkaitan dengan pengalaman, dan disisi lain memberikan inspirasi bagi guru untuk menata beberapa jenis pengalaman dengan terus merangsang kegiatannya. Sehingga pendidikan yang didasarkan atas pengalaman lebih memilih jenis pengalaman sekarang yang berpengaruh secara kreatif dan produktif dalam seluruh pengalaman berikutnya.
Seiring mengalirnya arus pengalaman yang disebut oleh John Dewey dengan “eksperience continum” atau kesatuan rangkaian pengalaman, terdapat dua macam proses, yaitu proses mengetahui dan proses evolusi (terjadi berangsur-angsur). Sedangkan kelanjutan dari pengalaman mempunyai makna ganda: (a) dalam suatu waktu tertentu, bermacam ragam aspek pengalaman saling berhubungan, (b) sepanjang waktu pengalaman berlanjut, sebagai rentetan kejadian. Disinilah proses refleksi pengalaman berlangsung, sehingga pengalaman yang kurang berpihak dan kurang menguntungkan bagi pedagogis akan dieliminir untuk kemudian mencoba mencipatakan pengalaman yang sama sekali baru.
Keberadaan pengalaman dalam pendidikan didasarkan pada kebiasaan, jika ditinjau dari segi biologis ciri dasar dari kebiasaan adalah bahwa setiap pengalaman yang diperagakan dan dialami akan mengubah orang yang bertindak dan menjalani pengalaman tersebut, sementara modifikasinya mempengaruhi kualitas seluruh pengalaman berikutnya. Prinsip ini meliputi proses pembentukan berbagai sikap emosional dan intelektual, yaitu kepekaan dasar dan segala cara menanggulangi serta menanggapi semua situasi yang kita jumpai dalam hidup.
Terkait dengan pola pembelajaran anak TK, pengalaman menjadi faktor yang tak terpisahkan. Pendidikan bagi anak TK harus diintegrasikan dengan lingkungan kehidupan anak yang banyak menghadapkan dengan pengalaman langsung. Lingkungan kehidupan anak dalam kelompok, banyak memberikan pengalaman bagaimana cara melakukan sesuatu yang terdiri dari serangkaian tingkah laku.
Dengan demikian penggunaan metode proyek yang didasarkan pada gagasan John Dewey tentang “learning by doing” sangat mungkin diterapkan, karena metode proyek merupakan salah satu cara pemberian pengalaman belajar dengan menghadapkan anak dengan persoalan sehari-hari untuk dipecahkan secara kelompok.
Dalam pelaksanaanya, metode proyek memposisikan guru sebagai fasilitator yang harus menyediakan alat dan bahan untuk melaksanakan “proyek” yang berorientasi pada kebutuhan dan minat anak dan menantang anak untuk mencurahkan segala kemampuan, ketrampilan serta kreativitasnya. Selain itu guru harus menciptakan situasi yang mengandung makna penting untuk mengembangkan potensi anak, perluasan minat serta pengembangan kreativitas dan tanggung jawab, baik secara perseorangan maupun kelompok.
Situasi yang menyenangkan juga harus diusahakan oleh guru agar tiap anak dalam melaksanakan pekerjaan yang menjadi bagianya akan menanggapi secara positif. Perasaan yang menyenangkan dalam menyikapi suatu kegiatan akan melahirkan kinerja yang tinggi, dan begitu sebaliknya.
4. Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran pada hakekatnya adalah interaksi guru dengan murid dalam rangka menyampaikan bahan pelajaran kepada siswa untuk mencapai tujuan pengajaran. Dengan demikian belajar mengajar harus bernilai normatif, yaitu mengandung sejumlah nilai yang mampu mengubah tingkah laku, sikap dan perbuatan anak didik menjadi lebih baik, dewasa, dan bersusila. Proses interaksi edukatif melibatkan komunikasi aktif dua arah antara guru dan anak didik, aktif dalam arti sikap, mental, dan perbuatan. Dalam sistem pengajaran dengan pendekatan ketrampilan proses, anak didik dituntut lebih aktif daripada guru. Guru hanya berperan sebagai pembimbing dan fasilitator.
Dalam menyusun program pengajaran guru dapat mengacu pada pendapat beberapa pakar pendidikan, diantaranya:
a. Skinner
Skinner berpandangan bahwa belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar, maka responya menjadi lebih baik. Sebaliknya, apabila ia tidak belajar maka responya akan menurun. Dalam menerapkan teori skinner, guru perlu memperhatikan dua hal penting, yaitu pemilihan stimulus yang diskriminatif, dan penggunaan penguatan. Dengan demikian diperlukan pemilihan respon pada ranah kognitif atau afektif. Langkah-langkah pembelajaran berdasarkan teori kondisioning operan adalah:
1). Mempelajari keadaan kelas. Guru mencari dan menemukan prilaku positif dan prilaku negatif siswa yang kemudian memperkuat prilaku positif dan mengeliminir prilaku negatif.
2). Membuat daftar penguat positif. Guru mencari prilaku yang lebih disukai siswa, prilaku yang kena hukuman, dan kegiatan luar sekolah yang dapat dijadikan penguat.
3). Memilih dan menentukan urutan tingkah laku yang dipelajari serta jenis penguatanya.
4). Membuat program pembelajaran. Berisi urutan prilaku yang dikehendaki, penguatan, waktu mempelajari prilaku, dan evaluasi. Dalam melaksanakan program pembelajaran, guru mencatat prilaku dan penguat yang berhasil dan tidak berhasil. Ketidakberhasilan menjadi catatan penting bagi modifikasi prilaku selanjutnya.
b. Gagne
Gagne mengungkapkan bahwa belajar merupakan kegiatan yang komplek dan menghasilkan kapabilitas. Kompleksitas tersebut digambarkan bahwa belajar merupakan interaksi antara keadaaan internal dan proses kognitif siswa dengan stimulus dari lingkungan, proses kognitif memunculkan suatu hasil belajar yang terdiri dari:
1). Informasi verbal adalah kapabilitas untuk mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tulisan.
2). Ketrampilan intelektual adalah kecakapan yang berfungsi untuk berhubungan dengan lingkungan hidup serta mempresentasikan konsep dan lambang. Ketrampilan ini terdiri dari diskriminasi jamak, konsep konkret dan terdefinisi, serta prinsip.
3). Strategi kognitif adalah kemampuan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri, yaitu kemampuan penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah.
4). Ketrampilan motorik adalah kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.
5). Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek tersebut.
Berkaitan dengan pembelajaran, maka guru dapat menyusun acara pembelajaran sebagai berikut:
a) Persiapan untuk belajar
(1) Menarik perhatian siswa dengan kejadian yang tidak seperti biasanya, pertanyaan atau perubahan stimulus.
(2) Memberitahu siswa tentang tujuan belajar
(3) Merangsang siswa agar mengingat kembali hasil belajar (apa yang telah dipelajari) sebelumnya.
b) Pemerolehan dan unjuk perbuatan
(1) Menyajikan stimulus yang jelas sifatnya.
(2) Memberikan bimbingan belajar
(3) Memunculkan perbuatan siswa
(4) Memberikan balikan informatif
c) Retrival dan alih belajar
(1) Menilai perbuatan siswa
(2) Meningkatkan retensi dan alih belajar
c. Rogers
Dalam pembelajaran Rogers mengemukakan langkah-langkah yang harus dilakukan guru, yaitu:
1). Guru memberi kepercayaan kepada kelas agar kelas memilih belajar secara terstruktur.
2). Guru dan siswa membuat kontrak belajar.
3). Guru menggunakan metode inkuiri, atau belajar menemukan (discovery learning).
4). Guru menggunakan metode simulasi.
5). Guru mengadakan latihan kepekaan agar siswa mampu menghayati perasaan dan berpartisipasi dengan kelaompok lain.
6). Guru bertindak sebagai fasilitator belajar.
7). Guru menggunakan pengajaran berprogram sebagai upaya menumbuhkan kreativitas siswa.
Uraian teori belajar menurut beberap tokoh diatas mensyaratkan adanya proses pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan komunikasi efektif. Lebih lanjut Jerome S. Bruner memunculkan tahapan dalam proses pembelajaran yang berorientasi pada perubahan, yaitu:
a Tahap Informasi
Siswa yang sedang belajar memperoleh sejumlah keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari. Diantara informasi yang diperoleh, ada yang sama sekali baru dan berdiri sendiri, ada pula yang berfungsi menambah, memperhalus, dan memperdalam pengetahuan yang sebelumnya telah dimiliki.
b Tahap Transformasi
Informasi yang telah diperoleh harus dianalisis, diubah atau ditransformasi kedalam bentuk yang lebih abstrak atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Peran guru dalam tahapan ini sangat diharapakan untuk memilih strategi kognitif yang tepat sehingga tranformasi materi pelajaran sesuai tujuan pembelajaran.
c Tahap Evaluasi
Menilai sejauhmana pengetahuan yang diperoleh siswa dapat dimanfaatkan untuk memahami dan merespon terhadap gejala-gejala lingkungan yang sedang dihadapi.
Tahapan proses pembelajaran harus disesuaikan dengan hasil yang diharapkan, motivasi belajar, minat, keinginan untuk mengetahui dan dorongan untuk menemukan sendiri.
Dalam proses pembelajaran motivasi mempunyai peranan penting, karena merupakan tenaga yang menggerakkan dan mengarahkan aktivitas seseorang. Dengan demikian motivasi dapat menjadi tujuan dan alat dalam pembelajaran. Sebagai tujuan, guru diharapkan mampu mengkondisikan kegiatan intelektual dan estetik agar siswa tertarik dalam proses pembelajaran. Sebagai alat, motivasi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan belajar siswa dalam bidang pengetahuan, nilai-nilai dan ketrampilan.
Sebagai upaya menumbuhkan motivasi belajar siswa dibutuhkan proses pembelajaran yang tenang dan menyenangkan, hal tersebut tentu saja menuntut aktivitas dan kreativitas guru dalam menciptakan lingkungan yang kondusif. Ukuran kualitas pembelajaran dapat dilihat dari segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses apabila seluruh atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%) peserta didik terlibat secara aktif, baik fisik, mental maupun sosial dalam proses pembelajaran, antara lain menunjukkan kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan rasa percaya pada diri sendiri. Sedangkan dari segi hasil, terjadinya perubahan tingkah laku positif dalam diri anak didik seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%).
5. Materi/bahan pembelajaran
Bahan pelajaran adalah substansi yang akan disampaikan dalam interaksi edukatif, karenanya guru harus mempersiapkan dan menguasai bahan pelajaran pokok dan bahan pelajaran pelengkap. Bahan pelajaran pokok adalah bahan pelajaran menyangkut mata pelajaran yang diampu guru sesuai kompetensinya. Sedangkan bahan pelajaran pelengkap atau penunjang adalah bahan pelajaran yang dapat membuka wawasan guru agar dalam mengajar dapat menunjang penyampaian bahan pelajaran pokok.
Bahan belajar dapat berupa benda dan isi pendidikan, diantaranya berkaitan dengan pengetahuan, prilaku, nilai, sikap, dan metode pemerolehan. Guru berperan selektif dalam memilih bahan pelajaran dengan mempertimbangkan faktor berikut:
a Bahan belajar harus sesuai dengan sasaran belajar. Jika tidak sesuai, maka perlu bahan pengganti yang sederajat dengan program.
b Tingkat kesukaran bahan belajar, jika bahan belajar tergolong sukar maka guru perlu “membuat mudah”.
c Bahan belajar harus sesuai dengan strategi belajar mengajar. Guru harus menyesuaikan strategi belajar mengajar dengan bahan belajar.
d Evaluasi hasil belajar harus sesuai dengan bahan belajar. Kemampuan pada ranah kognitif, afektif, psikomotorik harus terkandung dalam bahan belajar.
Ketika kita menengok pada pendidikan di Taman Kanak-kanak, program kegiatan belajarnya merupakan kesatuan program kegiatan yang utuh, yaitu berisi bahan-bahan pembelajaran yang disusun menurut pendekatan tematik. Pendekatan tematik diartikan sebagai organisasi dari kurikulum dan pengalaman belajar melalui pemilihan topik. Dengan demikian bahan tersebut merupakan tema-tema yang dikembangkan lebih lanjut oleh guru menjadi program kegiatan pembelajaran yang operasional. Prinsip diatas menjadi dasar untuk mengembangkan kurikulum yang terintegrasi, sebagai gambarannya adalah ketika anak belajar diluar ruangan, mereka akan belajar segalanya.
Menurut Katz dan Chard seperti yang dikutip Soemiarti Patmonodewo dalam bukunya Pendidikan Anak Prasekolah, guru harus mempertimbangkan beberapa kriteria dalam memilih tema pembelajaran yaitu:
a Keterkaitan tema yang dipelajari anak dengan kehidupanya, dengan kata lain apa yang akan dipelajari anak harus mempunyai arti.
b Guru harus mengkaitkan tema dengan kemungkinan bagi anak untuk sekaligus dapat belajar membaca, menulis dan berhitung yang benar-benar mempunyai arti bagi anak.
c Adanya buku-buku dan informasi lain yang dapat mendukung dalam pemilihan tema.
d Minat guru. Dengan keberadaan minat maka guru menginginkan untuk memberikan bimbingan kepada anak.
e Tema dipilih berdasarkan kurun waktu tertentu, mungkin musim-musim yang biasanya terjadi dalam satu tahun.
6. Sarana/media Pembelajaran
Media merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pengajaran, karena membantu guru dalam menyampaikan materi pelajaran dan meningkatkan efisiensi proses serta mutu hasil pendidikan. Media dan sumber belajar dapat ditemukan dengan mudah dalam sawah percobaan, kebun bibit, kebun binatang, tempat wisata, museum, perpustakaan umum, surat kabar, majalah, radio, sanggar seni, sanggar olah raga, dan televisi. Disamping itu buku pelajaran, buku bacaan, dan laboratorium sekolah juga tersedia semakin baik. Guru dapat memanfaatkan media dan sumber belajar dengan mempertimbangkan efektifitasnya sebagai berikut:
a Sejauhmana media dan sumber belajar bermanfaat dalam mencapai sasaran belajar.
b Sejauhmana manfaat isi pengetahuan yang terdapat dalam surat kabar, majalah, radio, televisi, museum dan kantor-kantor untuk pokok bahasan tertentu.
c Apakah isi pengetahuan di kebun bibit, kebun binatang, perpustakaan umum bermanfaat bagi pokok bahasan tertentu. Jika ya, maka guru harus memanfaatkan dan membuat program karya wisata.
Penggunaan media/sarana pembelajaran bagi anak prasekolah harus dipersiapkan guru sedemikian rupa, karena menyangkut kebutuhan ruang bagi masing-masing anak baik di dalam maupun diluar ruang belajar. Disisi lain terdapat klasifikasi tentang penyiapan peralatan untuk anak usia awal menurut area perkembanganya, yaitu:
a Perkembangan fisik, perlengkapan penunjangnya adalah alat panjatan, mainan beroda, balok-balok, ban, bola, sepatu tali, mute untuk dironce, kartu dengan pola, papan keseimbangan, tangga, gunting, alat perkayuan, alat-alat untuk main pasir, serta alat lain yang memungkinkan anak mengembangkan koordinasi otot besar dan halus.
b Perkembangan sosial, memerlukan alat yang berhubungan dengan kantor pos, alat yang biasa dijual di toko kelontong, alat rumah tangga, dan alat lain yang mendorong anak untuk bermain atau bekerja sama.
c Perkembangan intelektual, memerlukan alat berupa: binatang, tanaman, alat untuk dimanipulasi, pasir, air, kayu balok, papan titian, gelas, ukuran, alat mainan yang berpasangan, buku, daun, bunga, puzzle, dan sebagainya.
d Perkembangan kreativitas, memerlukan berbagai alat gambar/lukis, berbagai macam ukuran, bentuk dan kualitas kertas, pensil berwarna, lilin, biji-bijian, gunting, krayon, sedotan dan seterusnya.
e Perkembangan bahasa, membutuhkan buku, tape, kartu yang dapat mengembangkan bahasa, cerita, bermain jari-jemari, boneka, wayang, buku buatan anak sendiri, baju, kunjungan luar, situasi sosial, bermain pura-puta, kesempatan untuk bertemu dengan orang lain.
f Perkembangan emosi, memerlukan alat yang dapat membuat anak berhasil melakukan, manantang tetapi tidak membuat frustasi, mainan yang membuat anak mampu.
7. Sistem evaluasi pembelajaran
Sebagai upaya menyediakan informasi tentang baik buruknya proses dan hasil kegiatan pembelajaran dibutuhkan penyelenggaraan evaluasi. Dalam hal ini evaluasi mencakup evaluasi hasil belajar dan evaluasi pembelajaran. Evaluasi hasil belajar menekankan pada informasi tentang sejauhmana perolehan siswa dalam mencapai tujuan pengajaran yang ditetapkan, sedangkan evaluasi pembelajaran merupakan proses sistematis untuk memperoleh informasi tentang keefektifan proses pembelajaran dalam membantu siswa mencapai tujuan pengajaran yang optimal.
Penilaian terhadap proses belajar mengajar bertujuan untuk mengambil keputusan tentang hasil belajar, memahami anak didik, memperbaiki dan mengembangkan program pengajaran. Secara lebih jelas dapat dikatakan bahwa tujuan evaluasi pembelajaran adalah untuk mengetahui penguasaan anak didik terhadap bahan-bahan pelajaran dan efektifitas kegiatan pengajaran.
Langkah yang ditempuh dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar diantaranya:
a Penilaian kelas, yaitu penilaian yang dilakukan dengan ulangan harian, ulangan umum dan ujian akhir
b Tes kemampuan dasar, yaitu untuk mengetahui kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yang diperlukan dalam rangka memperbaiki program pembelajaran.
c Penilaian akhir satuan pendidikan dan sertifikasi, dilakukan setiap akhir semester dan tahun pelajaran guna mendapatkan gambaran secara utuh dan menyeluruh mengenai ketuntasan belajar peserta didika dalam satuan waktu tertentu.
d Benchmarking, merupakan suatu standar untuk mengukur kinerja yang sudah berjalan, proses, dan hasil untuk mencapai suatu keunggulan yang memuaskan. Indikasi keunggulan didasarkan pada tingkat sekolah, daerah, atau nasional.
e Penilaian program, penilaian ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian kurikulum dengan dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional, serta kesesuaian dengan tuntutan perkembangan masyarakat, dan kemajuan jaman.
Sistem evaluasi yang dikembangkan dalam pendidikan anak prasekolah mengacu pada penilaian perkembangan sosial, emosional, fisik, maupun perkembangan intelektualnya. Beberapa jenis penilaian hasil belajar anak prasekolah antara lain:
a Pengamatan (observasi)
Adalah suatu cara untuk mendapatkan keterangan mengenai reaksi anak, tingkah lakunya, dan ucapanya dengan melihat, mendengar dan mencatat dengan cermat.
b Tes yang distandarisasi
Adalah sekumpulan butir tertentu yang secara teliti dikembangkan untuk mengukur prestasi seseorang dalam bidang tertentu. Pada anak prasekolah biasanya tes ini digunakan untuk menilai kesiapan menyelesaikan tugas yang bersifat formal dan berkaitan dengan ketrampilan yang diperlukan di sekolah.

c Tes informal
Adalah menampilkan penguasaan anak tentang apa yang telah diajarkan guru pada masing-masing kelas, dan hasil ini dapat digunakan untuk memperbaiki program atau kegiatan pembelajaran dalam kelas tersebut.
d Inventori sikap dan minat
Yaitu penilaian untuk mengetahui informasi tentang bagaimana anak menghayati berbagai keinginan dan minat dengan memberikan pertanyaan langsung kepada anak, pertanyaan biasanya bersifat terbuka.
e Penilaian diri
Adalah untuk memperoleh keterangan tentang ketrampilan anak. Dalam hal ini digunakan checklist yang merekam tingkah laku anak dalam situasi bermain, ketrampilan fisik sehingga pada akhir tahun ajaran di TK sudah mampu mengumpulkan hasil karyanya di dalam satu buku selama satu tahun.
f Penilaian portofolio
Penilaian ini didasarkan pada hasil berbagai pekerjaan anak, catatan guru, dan evaluasi diri yang dilakukan anak. Guru mengumpulkan hasil kerja anak dalam beberapa tahun. Biasanya beberapa hasil karya anak (gambar, tugas melipat, menggunting) disimpan guru dan kemudian akan dikirimkan kepada orang tua.

REFRENSI :
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, Hlm. 83
Ibid., Hlm. 84
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, Hlm. 13-14
Ibid., Hlm. 18
Ibid., Hlm. 132
Syaiful Bahari Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, Hlm. 185
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, Hlm. 885
Ngalim Purwanto, Op. Cit., Hlm. 84
John Dewey, Experience and Education, alih bahasa John de Santo, Pendidikan dan Pengalaman, Penerbit Kepel Press, Yogyakarta, 2002, Hlm. 19
Ibid., Hlm. 133-134
Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit., Hlm. 186
Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, Safiria Insania Press, Yogyakarta, 2004, Hlm. 73-74
Dimyati dan Mudjiono, Op. Cit., Hlm. 46
Syaiful Bahari Djamarah, Op. Cit., Hlm. 186-187
John Dewey, Op. Cit., Hlm. 9
Ibid., Hlm. 11
Ibid., Hlm. 15
Muis Sad Iman, Op. Cit., Hlm. 69
John Dewey, Op. Cit., Hlm. 24
Moeslichatoen R, Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, Hlm. 137
Ibid., Hlm. 138-139
Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, Hlm. 36
Syaiful Bahri Djamarah, Op Cit., Hlm. 12
Dimyati dan Mudjiono, Op. Cit., Hlm. 9-10
Ibid., Hlm. 11-12
Ibid., Hlm. 17
S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Bumi Aksara, Jakarta, 2000, Hlm. 9-10
Dimyati dan Mudjiono, Op. Cit., Hlm. 43
E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi; Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, Hlm. 101-102
Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit., Hlm. 17-18
Dimyati dan Mudjiono, Op. Cit., Hlm. 34
Soemiarti Patmonodewo, Pendidikan Anak Prasekolah, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, Hlm. 68
Ibid., Hlm. 71
Ibid., Hlm. 71
Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2002, Hlm. 65
Dimyati dan Mudjiono, Op. Cit., Hlm. 36
Soemiarti Patmonodewo, Op. Cit., Hlm. 154
Ibid., Hlm. 156-157
Dimyati dan Mudjiono, Op. Cit., Hlm. 190
Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit., Hlm. 209
E. Mulyasa, Op. Cit., Hlm. 103-105
Read More..

Pluralisme Agama


A. Pengertian Pluralisme Agama
Para ahli menggarisbawahi ada dua komitmen penting yang harus dipegang oleh para pelaku dialog antar agama, yaitu toleransi dan pluralisme. Akan sulit bagi para pelaku dialog antar agama untuk mencapai pengertian dan respek, apabila salah satu pihak tidak toleran. Namun toleransi saja tanpa sikap pluralistik tidak akan menjamin tercapainya kerukunan antar umat beragama yang langgeng.
Pluralisme berasal dari bahasa latin pluralis, dari pluris yaitu lebih dari satu, jamak. Pengertian tersebut sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Elga Sarapung dan Zuly Qodir yang secara harfiah pluralisme berarti jamak, beberapa berabagi hal, banyak. Oleh sebab itu sesuatu yang dikatakan plural senantiasa terdiri dari banyak hal, berbagai jenis, berbagai sudut pandang serta latar belakang.
Pluralisme dalam bahasa Inggris adalah pluralism, yang memiliki definisi (eng) pluralism adalah "In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation". Atau dalam bahasa Indonesia : "Sesuatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran atau pembiasaan). Pluralisme juga, menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing. Sementara kata agama yang dimaksud disini adalah kata yang berasal dari bahasa sansekerta yang berarti tidak kacau atau berarti peraturan dalam bahasa Indonesia. Sedangkan dalam Islam agama terjemahan dari lafadz addin, yakni suatu syarat atau perundang-undangan lengkap diluar ciptaan manusia. Kata agama juga terjemahan dari kata millah yang artinya masyarakat yang melakukan upacara (tradisi) peribadatan. Adapun definisi agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris yang dipercayai dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat umumnya.
Penganalisaan keagamaan didefinisikan sebagai pencarian akan realitas yang asli, dalam rangka pencarian tersebut agama-agama sering merasa terdorong untuk menegaskan dirinya sebagai yang benar untuk menawarkan wahyu sebagai jalan keselamatan atau pembebasan. Bagi agama tersebut, maka bertentangan dengan dirinya sendiri apabila ia menerima ungkapannya sendiri. Maka dari itu untuk mengatasi salah satu hal yang demikian adalah adanya pluralisme agama. Jadi yang dimaksud dengan pluralisme agama disini adalah keragaman atau keberadaan dalam aspek agama (dalam pengertian luas), baik intern agama sendiri ataupun antar agama dalam hubungannya dengan kehidupan beragama.
Pengertian pluralisme agama secara garis besar dapat disimpulkan sebagaimana berikut : pertama, pluralisme tidak semata menunjukkan pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Jadi pluralisme agama adalah tiap pemeluk agama yang dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami persamaan dan perbedaan agama guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita dimana aneka ragam budaya, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ambil misal Kota New York, kota ini adalah kota cosmopolitan, di kota ini terdapat orang Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang tanpa agama sekalipun, seakan seluruh penduduk dunia berada di kota ini. Namun interaksi positif antar penduduk ini, khususnya dibidang agama, sangat minim, kalaupun ada. Ketiga, bahwa pluralisme yang dimaksudkan disini bukan berarti mencampuradukkan (sinkritisme) atau membuat "gado-gado" agama, namun justru penghargaan dan penggalian nilai-nilai kebenaran universal agama untuk kebaikan bersama. Seperti yang ditegaskan oleh Alwi Sihab, bahwa pluralisme bukanlah relativisme an sich, namun juga menekankan adanya komitmen yang kukuh pada agama masing-masing dan membuka diri atau bersifat empati terhadap kebenaran agama lainnya. Jadi yang perlu digaris bawahi adalah sikap menjunjung tinggi kebaikan bersama dan menghindari klaim tunggal kebenaran.

B. Sejarah Pluralisme Agama
Sejarah pluralisme agama secara umum berawal dari Eropa timbul disebabkan adanya plotestantime (15-17 – Luther), dimana agama timbul sebagai pemberontakan terhadap Gereja Katolik Roma yang menyatukan Eropa – Kristen Selama Abad pertengahan (Abad 5 – Abad ke 16).
Agama sebagai kekuatan sosial – politik, baik Katolik maupun Protestan dengan berbagai alirannya, ternyata berperan penting dalam menimbulkan perang agama-agama di seluruh Eropa. Perang tersebut telah menghancurkan berbagai masyarakat dan kerajaan-kerajaan juga imperium-imperium. Lepasnya Nederland dari imperium Hansburg Spanyol (1588 – 1548) dalam peperangan selama 80 tahun adalah contohnya. Meski harus diakui, ada berbagai faktor lain di luar agama yang juga ikut mempengaruhi.
Di Perancis, tindakan Raja Henry IV serta sikap rakyat Paris yang setia pada agama Katolik menunjukkan model kesatuan agama dan politik pada zaman tersebut (1517-1789). Sejak timbulnya proletanisme dalam tubuh Kristen Eropa ada perpecahan agama, politik dan masyarakat. Konflik atau kontradiksi realitas perpecahan agama politik ini, oleh para elit Eropa pada waktu itu yang terdiri dari kaum bangsawan dan agamawan tinggi, lalu disebut dengan prinsip "Cvius regio ilius est religio (agama raja adalah agama para kawula atau rakyatnya)" prinsip ini terutama dilaksanakan di Jerman yang terdiri dari puluhan kesatuan politik, dari raja sampai ke pangeran, graf, baron, uskup, kota merdeka dan lain-lain. Kalau ada rakyat yang tidak seagama dengan rajanya, maka ia harus pindah. Dari kenyataan tersebut maka pluralisme tidak ada tempat sama sekali.
Akhir abad XVIII, negara Eropa pada umumnya mulai mengakui kemajemukan agama dalam masyarakat dan menghilangkan rintangan-rintangan (barriers) sosial politik bagi agama-agama anehnya, kenyataan di lapangan ekonomi berbeda dengan di lapangan sosial politik. Di bidang ekonomi tidak pernah ada rintangan bagi mereka yang berbeda agama, bahkan kehadiran agama-agama kelak mampu menggerakkan dinamisme tersendiri.
Dalam pembentukan negara-negara modern, artinya dalam pembentukan negara-negara dari imperium-imperium Eropa khususnya Inggris, prinsip homogenitas agama atau prinsip "agama raja adalah agama rakyat" masih dianut, misalnya dalam pembentukan irish free state (1920-an) minus Irlandia Utara (Ulster), negara Israel, Pakistan, dan India. Dalam kasus terakhir, kita melihat dalam pembagian British India menjadi Pakistan (Negara Islam) dan India (Negara Sekuler) terjadi perpindahan penduduk secara besar-besaran yang diiringi pertumpahan darah dan perang antar India dan Pakistan serta berbagai ketegangan lainnya.
Kini konsep homogenitas versus kemajemukan (plulralisme) dalam masyarakat memasuki babak baru dengan munculnya pergolakan di negara-negara bekas Uni Soviet, Eropa Timur, dan Balkan. Dalam hal ini yang perlu dicatat adalah bahwa homogenitas agar sering meski tidak selalu, hadir bersama dengan homogenitas ras dan regio. Hal ini relevan dikemukakan ketika kita ingin membicarakan masalah yang sama di Indonesia.
Sejak berabad-abad yang lalu dikepulauan Indonesia sudah terdapat berbagai agama ; Hindunisme, Budhisme dan berbagai kepercayaan rakyat yang biasanya disebut animisme, dinamisme dan lain-lain. Pada umumnya para sarjana melihat adanya kecenderungan singkritisme. Khususnya orang jawa yang mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Misalnya mencampurkan antara Hinduisme dan Budhisme yang terjadi di kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Timur sebelum masuk Islam. Para sarjana juga menggambarkan bahwa di kraton-kraton kepulauan ini pembicaraan mengenai berbagai agama oleh para tokoh agama merupakan salah satu kebiasaan. Orang agak bertoleran terhadap agama masing-masing dan dapat saling membicarakannya tanpa emosi. Akan tetapi sebagai kegiatan intelektual. Sampai dimana hal ini benar atau mempengaruhi unsur sinkretisme, sebaliknya ada cukup banyak bukti bahwa perbedaan agama atau pendapat mengenai teologi dapat menyebabkan pembunuhan massal, perang saudara dan perebutan tahta.
Dengan munculnya kekuatan dagang dan kemudian kolonial dari barat, khususnya VOC (Belanda) membuat hubungan antar agama lebih kompleks lagi. Sebab prinsip-prinsip yang mempengaruhinya di Eropa, sedikit banyak tentu terbawa ke kepulauan Indonesia, rivalitas agama yang berkobar di Eropa. Perjalanan pertama Eropa, Portugal maupun Spanyol mencapai Asia antara lain didorong oleh motivasi kuat untuk menyebarkan agama Kristen (Katolik). Sampai batas tertentu, Spanyol dan Portugal yang berkuasa di Asia agak tidak toleran terhadap agama lain yang bukan Katolik.
Pada umumnya VOC seperti juga EIC (Kompeni Inggris), khususnya yang Protestan tidak melakukan tugas penyebaran agama Kristen dengan serius biarpun sering dicantumkan juga tujuan dalam Charter (konstitusi/ijin) yang diterbitkan kepada perseroan-perseroan dengan politis tersebut. Karena mereka semata-mata bertujuan dagang dan kalau kemudian mereka memperoleh kedudukan politik militer yang kuat, hal ini tidak direncanakan dan hampir tidak diduga. Mereka netral dalam hal agama bahkan menentang misi-misi protestan dalam usaha penyebaran agama khususnya di mana penduduknya beragama Hindu atau Islam, karena hal ini dapat menganggu hubungan dagang dan perdamaian VOC, karena itu mereka sedapat mungkin bersifat netral terhadap berbagai agama yang dianut penduduk yang dibawah kekuasaannya.
Di kota seperti Batavia terdapat masyarakat majemuk (plural) dalam agama, akan tetapi masyarakat majemuk ini juga diatur dalam suatu pola hubungan. Sebelum VOC datang, ada kecenderungan bahwa di kota-kota majemuk terdapat kampung-kampung yang ditempati orang-orang seagama dan sebangsa atau seasal, misalnya ada Kampung Cina, Kampung Arab, Kampung Koja, Kampung Keling, Kampung Bugis, Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Jawa, Kampung Mataram. Jadi masyarakat majemuk di bawah VOC dibagi-bagi dan dipisahkan secara fisik. Mereka boleh saing berhubungan tetapi hanya sebatas di dalam hubungan dagang dan ekonomi. Dalam hal politisi sosial, budaya dan pemikiran mereka sedapat mungkin dipisah.
Akan tetapi dimensi politik dan saat sejarah dari pluralisme zaman kolonial dan pasca kolonial berbeda sama sekali. Khususnya karena di Indonesia dan pergerakan nasional yang menuntut kemerdekaan yang memunculkan konsep-konsep kebangsaan, kedaulatan dan hak-hak kebebasan atau kemerdekaan individu dan lainnya.
Pada era sekarang paham pluralisme agama merupakan suatu keharusan, maka usaha untuk mendialogkan terus dilaksanakan dalam rangka mencari titik temu agama-agama dan kerjasama antar umat beragama. Pluralisme yang hidup di Indonesia adalah kenyataan historis yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Proses munculnya pluralisme agama di Indonesia dapat diamati secara empiris historis. Kepercayaan animisme dan dinamisme sudah lama sekali menjadi kepercayaan nenek moyang cikal bakal penghuni Indonesia pada abad VI perkembangan secara luas, agama Budha dan Hindu. Berdirinya kerajaan Sriwijaya yang bercorak Budha dan Majapahit yang bercorak Hindu, merupakan sebagian bukti tersebar dan kuatnya kedua agama tersebut dalam perkembangan selanjutnya datang dan berkembang agama Islam dan Kristen.
Karena kenyataan keragaman itulah buka tanpa alasan semboyan resmi negara "Bhineka Tunggal Ika" (Bercerai berai tapi tetap satu jua) Indonesia dikenal sebagai bangsa yang pluralis karena ia menyimpan akar-akar keberagaman dalam hal agama, etnis, seni, budaya dan cara hidup. Sosok keberagaman yang indah ini, dengan latar belakang mosaik-mosaik yang memiliki nuansa-nuansa khas masing-masing tidak mengurangi makna kesatuan Indonesia. Motto Indonesia "Bhineka Tunggal Ika" yang dipakai oleh Bangsa Indonesia jelas mempertegas pengakuan adanya "kesatuan dalam keberagaman atau keragamaan dalam kesatuan" dalam seluruh spektrum kehidupan kebangsaan kita.

C. Pluralisme Agama dalam Perspektif Islam
Doktrin ajaran Islam sesungguhnya sejak awal menegaskan penghargaan terhadap pluralis (kemajemukan). Hal tersebut tentu saja sangat bersesuaian dengan jargon Islam sendiri sebagai agama rahmatan lil alamin. Pluralisme adalah hukum Tuhan (sunatullah) yang diciptakan untuk kebaikan manusia sendiri. Sebab jika Tuhan menghendaki, Dia bisa saja hanya menciptakan satu agama dan satu golongan masyarakat. Namun Tuhan menginginkan keberagaman (pluralitas) agar manusia bisa saling menolong, membantu, bekerja sama dan saling berlomba untuk mencapai kebaikan.
Ayat al-Quran yang sangat berkaitan dengan penegasan bahwa keseragaman merupakan sunatullah adalah :

"Dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan itu".

Ayat tersebut menandaskan bahwa ide pluralitas merupakan prinsip dasar dalam Islam.
Masyarakat Indonesia yang pluralistik dalam bidang keagamaan sangat mengharapkan adanya kajian keilmuan yang sifatnya positif konstruktif untuk menopang keterlibatan bersama seluruh pengikut agama di tanah air dalam membina kerukunan hidup antar umat beragama. Islam sendiri tidak membatasi adanya beraneka ragam, namun Islam memberi kebebasan manusia untuk memeluk berbagai macam agama.
Karena ayat al-Quran sendiri telah mengatakan tentang intisari dari problem dan sekaligus solusi tentang pluralitas dan pluralisme menurut pemahaman Islam. Ayat tersebut di mulai dengan kenyataan tentang fakta bahwa masyarakat dalam dirinya sendiri terbagi kedalam berbagai macam kelompok dan komunitas yang masing-masing memiliki orientasi kehidupannya sendiri yang memberikannya arah petunjuk.
Sesuai dengan petunjuk al-Quran, sudah menjadi fakta sejarahlah bahwa Allah menciptakan manusia terbagi dalam berbagai kelompok dan komunitas, yang masing-masing memiliki orientasi atau tujuan hidupnya sendiri sesuai dengan keyakinannya. Oleh karena itu, pada masing-masing komunitas atau kelompok diharapkan dapat menerima kenyataan keragaman (pluralitas) sosio-kultural, dan saling toleran dan memberikan kebebasan serta kesempatan pada mereka untuk menjalankan sistem kepercayaan (agama) yang diyakininya.
Hal dipertegas oleh ayat al-Quran yang berbunyi :

"Dan bagi tiap-tiap ummat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu". Oleh karena itu tidak boleh ada paksaan dalam menyiarkan agama kepada orang lain.

Menurut Dr. Nurcholish Madjid ayat tersebut dimulai dengan kenyataan tentang fakta bahwa masyarakat dalam dirinya sendiri terbagi ke dalam berbagai macam kelompok dan komunitas, yang masing-masing memiliki orientasi kehidupannya sendiri yang memberikannya arah petunjuk. Komunitas-komunitas tersebut menurutnya diharapkan dapat menerima kenyataan tentang adanya keragaman. Sosio kultural dan saling toleran dalam memberikan kebebasan dan kesempatan setiap orang untuk menjalani kehidupan sesuai dengan sistem kepercayaan mereka masing-masing, dan komunitas yang berbeda tersebut saling berlomba-lomba dalam cara yang dapat dibenarkan dan sehat, guna meraih sesuatu yang baik bagi semuanya.
Selain itu pemaksaan dalam hal beragama sendiri adalah bertentangan dengan martabat manusia sebagai makhluk yang merdeka. Dalam QS. Al-Baqarah : 256

"Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada Buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

Kutipan al-Quran di atas bisa dikatakan inti dan sekaligus pemahaman masalah kebebasan beragama dan pluralisme, menurut pandangan Islam. Itu dimulai dengan fakta bahwa umat manusia terbagi dalam berbagai kelompok masing-masing mempunyai tujuan hidup berbeda menjunjung tinggi nilai-nilai agama berarti juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang mewujud pada penghargaan dan pembebasan. Sebab keberagaman yang bersumber pada keyakinan dirilah yang bisa mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan yang bisa ditransformasikan pada nilai sosial. Jadi sikap menghargai pluralisme keberagaman sebagaimana anjuran Islam merupakan wujud dari tingkat kedewasaan seseorang dalam menerima kenyataan sejarah.
Toleransi beragama dalam Islam merupakan misi kebaikan, dan prinsip kesetaraan dalam Islam tidak hanya melandasi hubungan antar komunitas beragama, tetapi juga antar kelompok etnis. Dengan demikian, maka pembahasan tentang hubungan antar komunitas beragama juga perlu memaparkan pola hubungan antar etnis dalam komunitas muslim. Hal ini dapat terjadi karena Islam memiliki kepedulian tinggi terhadap persoalan kesetaraan antar kelompok etnis.
Sebenarnya hubungan Islam dan pluralisme terletak pada semangat humanitas dan universalitas Islam. Wujud humanitasnya yaitu Islam adalah agama kemanusiaan (fitrah) yang sangat peduli pada urusan-urusan sosial dan kemasyarakatan. Maka Islam menjadi agama yang mewujudkan rahmat bagi seluruh dan manusia. Jadi bukan untuk semata-mata menguntungkan komunitas Islam saja. Sedangkan universalitas Islam yang dimaksud adalah, secara teologis perkataan al-Islam berarti sikap pasrah pada Tuhan atau perdamaian. Maka dengan itu, Islam juga mengakui kebenaran agama-agama lain yang berada di muka bumi. Karena semua agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan, perdamaian, persaudaraan dan pasti menolak segala bentuk kejahatan.
Posisi Islam dalam kenyataan ini mengharuskan umat Islam menjadi umat penengah (ummatan wasathan) dan saksi (syuhada) diantara manusia. Hal ini telah ditunjukkan dan dicontohkan dengan kehidupan Nabi saat berada di Madinah, yaitu dengan menciptakan piagam Madinah dan menghargai non Muslim. Hal ini juga membuktikan bahwa Islam sebenarnya adalah agama yang terbuka, dalam pengertian menolak absolutisme dan eksklusivme kebenaran agama, namun memberikan apresiasi yang tinggi terhadap keberagaman (pluralitas.
REFRENSI
Awl Sihab, Islam Inklusif ; Menuju Sikap terbuka Umumnya, Mizan, Bandung, 1999, Cet, I, hlm. 41
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1995, Cet. I, hlm. 255
Syafa'atun Elmirzanah, dkk, Pluralisme ; Konflik dan Perdamaian, Dian/Interfidei, Yogyakarta, 20002, hlm. 7
http://id.wikipedia.org/wiki/polemik pluralisme di Indonesia
Zaenal Arifin Abbas, Perkembangan ; Pemikiran terhadap Agama, Pustaka al-Husna, Jakarta, 1984, hlm. 39
Ibid., hlm. 59-60
Dr. H. Dadang Kahmad, M.Si, Sosiologi Agama, Kanisisu, Yogyakarta, 1994, hlm. 129
Harold Coward, Pluralisme ; Tantangan Bagi Agama-agama, Kanisius, Yogyakarta, 1989, hlm. 5-6
Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis; Menggagas Keberagamaan Libratif, Buku Kompas, Jakarta, 2004, hlm. 7
Abdurrahman Wahid, dkk, Dialog Kritik dan Identitas Agama, Dian / Interfidei, Yogyakarta, 1993, hlm. 150
Ongkhokham, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sejarah, dalam Abdurrahman Wahid Dialog Kritik dan Identitas Agama, hlm. 152
Drs. H.M.Darori Amine, M,A, Sinkretisme dalam Masyarakat Jawa, dalam Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarya, 2002, hlm. 87
Abdurrahman Wahid, op.cit., hlm. 155
Ahmad Faisal, Islamiyah Islam Lahiriyah, Jakarta, 1998, hlm. 87
Ahmad Fuad Fanani, op.cit., hlm. 36
Prof. R.H.A. Soenarjo, SH, Al-Quran dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir al-Quran, Jakarta, 1971, hlm. 168
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Quran, CV. Adi Grafika, Semarang, 1994, hlm. 38
Dr. Nurcholish Madjid, Pluralisme Agama di Indonesia, Mizan, Bandung, 1998, hlm. 62
Ahmad Fuad Fanani, op.cit., hlm. 38
Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog antar Agama atas Pemikiran Muhammad Arkom, Bentang, Jakarta, 2000, hlm. 158

Read More..
GENUK - Hari ini Ikatan Remaja Telaga muda atau IRTAMA mengadakan acara besar dan syukuran dalam rangka HUT Ke 13 kelompok pemuda pemudi ini. Irtama merupakan arah baru dalam membangun keakraban sesama pemuda dilingkungannya.
Organisasi kepemudaan ini beranggotakan dari 3 rt setempat yang terletak di RW ^ wilayah kelurahan Banjardowo.
Pada kali ini mereka mengadakan Tour to Jogja. Acara ini terslengara berkat kerjasama pihak masyarakat dan pemuda pada umumnya.
Ketua panitia Badrus Zaman mengatakn bahwa acara ini sebagai ajang mempererat tali keakraban dan kekeluargaan sesama anggota. Sedangkan tour ke Jogja merupakan inisiatif dari kesepakatan bersama. (lukni) Read More..

Jumat, 09 Juli 2010

TIPOLOGI PENDIDIKAN SALAH URUS


Agus Thohir*

Fenomena ironis yang muncul di dunia pendidikan kita saat ini adalah semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, probabilitas untuk menjadi penganggur pun semakin tinggi. Perihal ini melahirkan paradoks: semakin tinggi seseorang berpendidikan maka seharusnya semakin mudah ia mendapat pekerjaan. Benarkah pendidikan kita menghasilkan para pengangguran terdidik? Selama ini memang lembaga pendidikan kita menganut sistem pendidikan warisan Belanda yang menekankan pada kemampuan hafalan. Sehingga yang tertanam pada sumberdaya manusia terdidik orientasinya adalah cepat lulus dengan hasil terbaik. Tapi kurang dibekali kecakapan hidup (life skill) yang memadai, misal kemampuan berkomunikasi dan membangun jaringan (link).
Kasus meningkatnya jumlah sarjana yang menganggur dari 183.629 orang pada tahun 2006 menjadi 409.890 orang pada tahun 2007 ini menjadi permasalahan serius bagi lembaga pendidikan dinegeri ini. Lalu ada apa dibalik semua itu? Apakah kurikulum pendidikan kita yang salah atau kebijakan pemerintah yang tidak sesuai. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengakui ada ketidaksesuaian (mismatch) antara lulusan perguruan tinggi dan kualifikasi yang dibutuhkan pasar industri dan jasa di masyarakat yang berakibat sulitnya sarjana mendapat pekerjaan.Masih banyak penyebab lain, diantaranya pertama, kondisi sistem kampus yang tidak mendukung untuk menciptakan keahlian khusus yang dibutuhkan mahasiswa kelak ketika terjun kemasyarakat. Pada sisi lain Perguruan Tinggi tetap membuka lebar jurusan yang jenuh terutama untuk ilmu sosial, ekonomi, politik, dan hukum.
Kedua, paradigma yang terbagun oleh kebanyakan sarjana kita kecenderungan, semakin tinggi tingkat pendidikan semakin besar keinginan mendapat pekerjaan yang aman. Sehingga mereka tidak berani mengambil pekerjaan yang beresiko (baca: pekerjaan kasar).
Ketiga, minimnya keahlian individu, misal berbahasa asing, kemampuan berkomunikasi, kerja dll. Semua pengalaman tersebut justru tak diperoleh secara formal di bangku sekolah namun sebaliknya didapat dari inisiatif dan kreativitas individu. Individu kreatif cenderung memiliki tingkat keberhasilan tinggi.
Sebenarnya masih banyak problem yang melilit pendidikan bangsa ini, menurut penulis sudah saatnya semua lembaga pendidikan berbenah untuk mengurangi bahkan menghilangkan permasalahan pelik tersebut bagaimanapun caranya.
Bila pendidikan jelas arah maka lulusan perguruan tinggi tidak akan kesulitan kerja bahkan kelak mereka akan sanggup menciptakan lapangan pekerjaan, bukan mengandalkan perusahaan tertentu.
Disamping itu pemerintah juga harus mampu meracik strategi dan kebijakan baru untuk mengatasi bertambahnya pengangguran terdidik. Sudah menjadi kewajiban bersama antara pemerintah, lembaga pendidikan tinggi dan penyedia lapangan pekerjaan untuk mengatasi menganalisa sejauhmana kerlibatan ketiganya dalam mengatasi permasalahan tersebut.
awal februari 2008.
* Direktur Lingkar Studi Alternatif (LaSTa) Ssemarang
Read More..

AGAMA DAN RUANG PEREMPUAN


Oleh : Shinta Ardhiyani U*
(naskah ini ditunjukan untuk lomba Essay STAIN Purwokerto thn 2008 dengan tema " Agama dan Kekuasaan)

Seorang reformis dari tanah arab, Qasim Amin (1865-1908), pada abad XIX, dalam bukunya menyatakan sebuah keyakinan bahwa suatu bangsa tidak mungkin bisa berkembang tanpa bantuan dari separuh populasinya, yaitu perempuan.

Lepas dari jenis kelamin, perubahan dalam suatu kelompok masyarakat baik di lingkup kecil, maupun lingkup berbangsa dan negara, peran serta seluruh komponen masyarakat tak bisa dinafikkan. Komposisi pria dan perempuan yang menurut statistik lebih besar pada jumlah perempuan, secara logis membenarkan pernyataan Qasim Amin seperti tersebut diatas.

Fenomena yang ada, perempuan dirasa tidak mendapatkan posisi untuk melakukan optimalisasi peranan-peranannya dalam kancah bermasyarakat. Perempuan masuk ruang publik merupakan suatu hal yang masih jarang. Bahkan , masih menurut Qasim Amin ” Istri dianggap dapat dipakai sebagai alat untuk mencapai kenikmatan, kaum laki-laki dapat bermain dengannya selama dia inginkan, lalu dapat membuangnya ke jalan kalau dia sudah memutuskan begitu”. Reformis yang orang Mesir keturunan Turki ini sampai menganjurkan agar perempuan melepaskan jilbab, menyerukan pemberian pendidikan yang sama kepada laki-laki dan perempuan, dan meninggalkan poligami yang, menurutnya dapat ditolerir kalau sang istri mandul. Bukan hanya Qasim Amin, ada nama-nama reformis lain seperti Tahar Haddad (1899-1935) yang menyerukan hal yang serupa.Pembicaraan mengenai hak-hak perempuan seakan-akan selalu bertentangan dengan religiusitas. Norma-norma agama dianggap selalu kontra produktif. Dari mulai perintah berjilbab hingga hukum waris selalu dilihat dari segi yang menyudutkan kaum hawa. Agama seolah-olah mendapatkan tuduhan sebagai biang patriarki yang mendudukan perempuan dalam posisi subordinat. Kemudian muncullah istilah ketidakadilan gender (dalam agama). Qasim Amin yang pengetahuan agamanya tidak diragukan lagi, masalah perempuan adalah juga bagian yang tak terpisah dari doktrin agama, sementara , para feminis kontemporer melihat problem perempuan lebih dari perspektif sosial budaya: perempuan sebagai objek diskriminasi gender yang dibentuk oleh masyarakat dan tradisi. Walaupun Kaum feminis kontemporer, meskipun mereka kerap mencari-cari justifikasi teologis dalam menyokong beberapa pernyataan interpretisnya terhadap masalah perempuan dan peran sosialnya, secara umum mereka “bukanlah ahli” soal agama, katakanlah seperti Qasim Amin yang pengetahuan agamanya tidak disangsikan lagi.

Tidak sepenuhnya salah jika kita memang melihat fenomena yang ada dari satu sudut saja, seperti para kaum feminis tersebut. Sebenarnya, agak enggan saya menggunakan kata feminis atau feminisme. Banyak salah kaprah dalam penggunaan kata itu. Misal, orang-orang timur yang menganggap kaum perempuan barat menjadi bebas karena feminisme. Padahal banyak hak yang masih diperjuangkan oleh kaum perempuan di barat pada abad XX ini. Contohnya seperti di Perancis, yang kaum perempuan baru diberi hak memilih pada bulan Oktober 1945 oleh presiden Jenderal de Gaulle.

Hal yang diperlukan dalam konteks permasalahan ini adalah bagaimana kita dapat mendudukan dengan benar akar permasalahan yang ada. Antara agama dan ketidakadilan gender yang kemudian menjadikan perempuan menjadi ”impoten” dalam melakukan fungsi-fungsinya dalam masyarakat.

Mitos Adam dan Hawa mungkin menjadi salah satu hal yang paling mudah untuk menjadi pijakan pihak-pihak yang mendudukan peran perempuan berseberangan dengan agama. Bahwa cerita yang kita pahami adalah Hawa sebagai penggoda, perempuan merupakan racun dunia – kalo katanya grup musik yang lagi laris The Changcuters. Pewarisan cerita tanpa pewarisan makna.

Pandangan teologis Abrahamic religions memiliki kisah tentang Hawa (perempuan) yang "dituduh" sebagai sumber "dosa asal" karena terbujuk iblis dengan memetik dan makan buah terlarang, danmemberikannya kepada Adam. Sementara kalangan menganggap kisah ini sebagai peminggiran perempuan. Bahkan, sementara pihak menafsirkan bahwa tradisi Kristiani telah mengembangkan kebencian dan kecurigaan pada wanita dalam "doktrin dosa asal"-nya. (Ayu Utami, 2002:12).

Padahal ketika kita mau berfikir mitos tersebut bukan semata-mata dari sudut pandang posisi si Hawa. Menafsirkan sebuah mitos yang juga merupakan sebuah bahasa sastrawi, dimana Agama mengungkapkan maknanya dengan bahasa yang indah. Dimaknai secara sederhana saja, bahwa jika tidak ada skenario Hawa membujuk Adam untuk memakan buah khuldi, maka tak akan pernah ada kehidupan di muka bumi ini. Dengan kata lain, tujuan dari kisah itu, bukan dengan maksud menminggirkan posisi perempuan, melainkan hanya sebagai salah satu alur yang dipilih untuk dijadikan starting point kehidupan di muka bumi. Karena tanpa adanya Hawa yang membujuk Adam, maka mustahil keduanya diturunkan kebumi, dan kita tak pernah mungkin ada saat ini.

Perdebatan seputar ketidakadilan gender dan agama memang selalu menjadi diskursus yang tak kunjung habis bahkan semakin dibicarakan semakin menarik karena dapat memunculkan inovasi perspektif dan wacana-wacana yang baru. Disini ada korelasi yang timbul antara agama dengan munculnya kekuasaan patriarki yang berkembang.

Perempuan dan laki-laki pada dasarnya hanya kategori spesies manusia yang keduanya dianugerahi derajat yang sama, dengan iman taqwa yang membedakan diantaranya. Penafsiran agama yang secara historis mungkin lebih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki menimbulkan partisipasi perempuan dalam masyarakat cenderung diabaikan. Pada konteks ini, permasalahan yang timbul hanyalah tidak munculnya lateralisasi dalam penafsiran teks-teks agama. Namun jika kita mau menyimak, walaupun dalam wacana, agama sering dianggap melakukan ketidakadilan gender pada perempuan, pada kenyataannya perempuan mendapatkan tempat istimewa. . Paling tidak, dalam perspektif agama Katolik dan Islam, peran itu diakui secara istimewa dalam diri Maria (Maryam) Maria diterima sebagai yang perempuan yang mengandung, melahirkan, mendidik, dan mendewasakan Yesus dengan segala kedewasaan personal, kecerdasan spiritual, dan kemantapan profetik. Bahkan, peranan Maria diakui sedemikian penting dan istimewa dalam karya dan sejarah keselamatan Allah (QS Maryam 19: 18-21). Dalam posisi itu, martabat perempuan telah diangkat tinggi, bukan saja sebagai "citra Allah", tetapi sebagai Bunda Penebus.

Selain Maria, dalam Alkitab ada nama-nama perempuan yang berperan penting dalam sejarah keselamatan, seperti Deborah, Yudith, dan Esther. Dalam perspektif agama, mereka adalah models of very brave and strong women. Bahkan, dalam konteks sosial-politik pada zamannya, they played roles in saving the nation. (Dominic Izhaq, 2001:82)

Dalam sejarah perempuan dan agama, kita mengenal Bunda Theresa dari Calcuta. Dia merupakan simbol perempuan yang menjalin harmoni dengan agama dalam melawan kekerasan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Sebelum Bunda Theresa, di kalangan agama Katolik terdapat para santa yang merelakan hidup dan kekudusan mereka untuk membela iman (dan agama) berhadapan dengan kekerasan budaya, sosial, ekonomi, dan politik. Dan, agama (Katolik) menerima korban kekerasan itu bukan sebagai pesakitan yang harus dijauhi, melainkan sebagai mutiara, para santa. Dalam tradisi itulah perempuan mendapat posisi sederajat, tanpa subordinasi, kekerasan, marjinalisasi, maupun ketidakadilan dalam agama.

Wacana yang ada, agama selalu didudukkan pada posisi pro partriarkhi. Penciptaan makna agama yang lebih mengukuhkan kekuasaan patriarkhi, sesungguhnya dalam prosesnya terselubung "ideologisme" antara tafsir agama dan konteks kekuasaan kaum laki-laki pada saat itu. Michel Foucault, seorang filsuf posmodernis, menengarai adanya hubungan antara "pengetahuan" dan "kekuasaan" (knowledge and power), yaitu bahwa kekuasaan menentukan pengetahuan, dalam arti: menetapkan tipe-tipe diskursus yang benar dalam arti yang "works"; menetapkan mekanisme yang memungkinkan untuk membedakan proposisi yang benar dan yang salah; menetapkan teknik dan prosedur dalam mencapai kebenaran di atas; menetapkan status dari mereka yang ditugasi untuk mengatakan hal-hal yang dianggap benar. (Foucault: 1980, 131).

Penafsiran agama yang kemudian memperkukuh patriarkhi, sebenarnya merupakan wujud bermainnya ideologi dalam pemaknaan agama. Secara sederhana patriarkhi memang akan sulit dihapus karena itu muncul semenjak masa awal peradaban manusia saat masih berburu dan meramu. Bisa dibayangkan pada kondisi primitif seperti itu, dimana mereka memenuhi kehidupannya mengandalkan kekuatan fisik, sementara perempuan mengalami fase-fase dimana dia harus beristirahat fisiknya (hamil). Maka pada saat itu, jelas laki-laki memiliki porsi yang lebih luas dalam perananna memenuhi kebutuhan hidup. Seiring waktu pemikiran dan zaman berkembang, saat menyadari bahwa kekuatan manusia bukan hanya pada fisik, peran-peran perempuan mulai tampak. Namun untuk menghapus sisa-sisa patriarkhi yang sudah membumi dari dimulainya peradaban, merupakan suatu hal yang sulit. Kemudian justru munculnya agama sebagai pencerahan menjadikan pemikiran terbuka dan mengurangi adanya patriarki yang menjadikan koloanialisasi pada perempuan. Agama justru membunuh keprimitifan patriarki, bukan sebuah pengukuhan seperti yang selama ini diwacanakan.

Maka pendudukan akar masalah yakni bagaimana kemudian kita dapat melakukan pemaknaan agama dengan semestinya dan bukan sebagai ajang bagi ideologi tertentu. Dalam pemaknaan-pemaknaan agama tidak dapat dipisahkan atau bahkan dikontraposisikan dengan kebebasan perempuan. Agama hadir di muka bumi untuk membebaskan perempuan. Ketika muncul pemaknaan bahwa agama vis a vis kebebasan perempuan (dalam artian berkarya), maka perlu dievaluasi pemaknaan agama yang dilakukan. Tidak dengan tendensius, namun dengan mencoba memulai dengan ketulusan untuk membebaskan perempuan dari belenggu budaya yang ada. Hal ini dapat sebagai otokritik pula pada gerakan perempuan, bahwa sebuah gerakan perlu melakukan sinergisitas dengan pemahaman hal-hal lain seperti agama. Aspek-aspek yang ada diluar gerakan sesungguhnya adalah sebuah komponen pendukung, bukan selalu diposisikan untuk vis a vis. Sinergisitas yang muncul antara gerakan agama dan gerakan perempuan akan membawa kepada sebuah perubahan sosial yang berkeadilan. Semoga!

Markas kebebasan, Sumampir-Purwokerto. 22 Desember 2008. 10:50 pm. Di penghujung deadline.

Sumber-sumber :
Muhammad, Husein K.H. 2001. Fiqh Perempuan : Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Jogjakarta : PT.LKiS Pelangi Aksara Jogjakarta. Muslim pada Agama dan Subordinasi Perempuan, www.lampungpost.com, diakses tanggal 10 Desember 2008. Assyaukanie, Luthfi. Gerakan Feminisme Arab (Arab Feminist Movement). Source: Jurnal Paramadina, Vol. I No 1, Juli-Desember 1998.
* Skretaris HMI Cabang Purwokerto
Read More..

INNER BEAUTY ADN ILLER BEAUTY


Oleh: Yuyun Nailufah*

Membincang kecantikan tidak dapat lepas dari kodrat manusia secara lahiriah dan batiniah. Manusia tercipta di gambarkan dengan berbagai macam benda asalnya dari berupa tanah, Lumpur kering, air mani atau alaq, turab, shal-shalin. Eksistensi ini menunjukan bentuk atau keberadaan asal tercipta dalam artian berupa benda yang nampak begitu juga penciptaan iblis, jin dan malaikat. Manusia memiliki keistimewaan tersendiri di banding dengan mahluk lain, keistimewaan yang tidak di miliki mahluk lain yaitu sebagai manusia yang berfikir (homo sapien atau al hayamanu an natiq). Melalui akal fikir manusia dapat mengerti akan keindahan, kebenaran dan kebaikan.

Namun jika kita berbincang tentang kecantikan tidak dapat lepas dari bias perempuan tersendiri, sebab akronim kalau wanita itu pasti cantik dan laki-laki itu tampan. Inner beauty selalu menjadi momok bagi kaum hawa karena selalu di sandarkan pada aspek fisik. Akan tetapi jika dikaji secara menyeluruh tentang inner beauty di sini terjadi pembedaan (diversitas) sebab manusia mempunyai unsur fisik dan non fisik. Coba kita bedah apa itu sebenarnya inner beauty!Inner beauty berasal dari bahasa inggris yaitu dari dua kata “inner” yang berarti dalam dan “beauty” yang artinya kecantikan. Jadi inner beauty dapat di artikan kecantikan yang terpancar dari diri pribadi seseorang. Biar tidak melihat manusia pada satu sisi (fisik), berbicara inner beauty harus tahu landasanya terutama bahwa keindahan (beautiful) itu ada 2 macam yaitu pertama, keindahan batin (inner beauty) yang lebih menekankan pada hati, sikap, perilaku dan tingkah laku. Kedua, keindahan lahir (physical beauty) yang lebih menitik beratkan pada aspek lahiriah dan fisiknya saja.

Setiap orang mendamba akan kecantikan dan ketampanan, akan tetapi tidak semua orang memiliki kecantikan batiniyah. Keindahan batin (inner beauty) merupakan keindahan yang di cari karena esensinya seperti keindahan ilmu, akal, pikiran, kesucian diri, tingkah laku dan kebaikan hati. Keindahan batin inilah yang merupakan titik pandang Allah pada diri hamba-hambanya, Allah berfirman dalam surat al A’raaf ayat 26:

"Hai anak Adam, Sesungguhnya kami Telah menurunkan kepadamu Pakaian untuk menutup auratmu dan Pakaian indah untuk perhiasan. dan Pakaian takwa, Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat"

Dari petikan ayat al Qur’an dapat di tarik pemahaman bahwa Allah membagi keindahan dengan pakain indah berupa perhiasan dan pakain indah berupa takwa. Mengisyaratkan bahwa keindahan fisik dapat di hiasi dengan pakaian perhiasan dunia secara fisik, sedangkan dari diri yaitu takwa melalui peran pensucian jiwa. Nabi Muhammad sendiri berpesan kepada umatnya tentang inner beauty melalui hadis yang di riwayatkan imam Muslim: Dari petikan hadis di atas dapat di simpulkan bahwa kecantikan, ketampanan dan penampilan fisik di mata Allah tidak menjadi ukuran keindahan. Inner beauty inilah yang akan menghiasi keindahan fisik pada diri kita. Pada intinya inner beauty seperti sinar terang yang memberikan cahaya yang menyinari kegelapan pada diri kita walaupun penampilan fisik tidak begitu indah dan cantik ataupun tamapan.

Seseorang yang memiliki inner beauty akan terlihat indah, anggun, mulia dan penuh kharisma yang muncul dari batin tubuhnya, sebab seseorang yang selalu mensucikan diri akan terlihat di surga dengan rupa atau wajah yang terang. Inner beauty inilah yang dapat menutupi kekurangan yang ada pada diri kita secara lahiriah.

Zaman sekarang atau menurut Ronggowarsito di sebut zaman edan banyak orang menilai seseorang dari segi lahiriah/fisik saja, dia tidak melihat dari kebaikan hatinya. Tentu sebagai seorang yang normal mendambakan selain inner beauty juga mengidamkan kecantikan secara fisik. Akibatnya orang yang merasa dirinya jelek (fisik) terperangkap pada budaya pop yaitu dengan berbagai alat untuk menghiasi dirinya, dari rebonding, mak up, luluran, spa dll yang akan membuat dirinya lebih cantik dan menarik.

Dampak budaya pop inipun berlanjut pada hegemoni kaum kapitalis melalui perusahannya menciptakan berbagai product kecantikan dari sampo, parfum, perhiasan, sabun, pembersih wajah dengan tawaran akan memberikan keindahan tersendiri. Maka timbulah liberalisasi diri melaui kontes-kontes kecantikan yang hanya memperlihatkan keindahan lekuk tubuh/ fisik. Dari menonjolkan kecantikan wajah, tinggi badan, berat ideal, tapi lupa pada nilai yang mengajarkannya di bermasyarakat melalui keindahan alami dan telah lari dari nilai-nilai Islam yang mengajarkan untuk selalu menghambakan diri dan menutup aurat.

Perempunan yang cantik ataupun laki-laki yang tampan adalah mereka yang bebas dari taklid buta terhadap yang lain, terbebas dari desakan nafsu yang menghimpit, terbebas dari setiap kilauan yang memperdaya apapun namanya, terbebas dari penghambaan selain Allah.

Maka ingatlah kecantkan dan ketampanan tidak menjadi ukuran di mata Allah. Saatnyalah kita membersihkan diri dari lubang hitam kehinaan dunia, sebab siapa yang terperangkap pada kecantikan fisik akan menjadi sasaran iller beauty.

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa dan postur tubuh kalian, akan tetapi Allah melihat pada hati kalian”.

* Yuyun Nailufah (Mahasiswa IKIP PGRI Semarang asli Jepara)
Read More..

Metode Reading Guide


Reading Guide merupakan metode pembelajaran yang menggunakan suatu panduan baku. Metode Reading Guide dilaksanakan dengan cara guru memilih materi yang yang akan dipelajari pada hari itu. Lalu guru membuat daftar pertanyaan sebanyak mungkin berdasarkan materi yang akan dipelajari. Jadi daftar pertanyaan tersebut telah mencakup sumua inti materi dalam buku ajar. Selanjutnya materi dan daftar pertanyaan tersebut dibagikan kepada semua siswa untuk dipelajari dengan seksama dan berusaha menemukan jawaban berdasarkan panduan dari daftar pertanyaan yang tersedia.
Setelah waktu belajar yang dialokasikan selesai, guru kemudian memimpin para siswa dengan menyampaikan semua pertanyaan tersebut satu persatu untuk dijawab oleh para siswa dengan sistem berebut setelah sebelumnya para siswa menutup buku ajar dan daftar pertanyaan berikut jawaban mereka. Hal ini dimaksudkan agar para siswa dalam menjawab setiap pertanyaan itu murni berdasarkan daya ingat mereka. Siapa yang lebih dahulu mengangkat tangan maka guru akan menunjuknya sebagai siswa yang berhak menjawab pentanyaan. Hal ini dimaksudkan agar para siswa lebih aktif dan mandiri. Dan untuk pemerataan, setiap siswa hanya berhak menjawab satu pertanyaan saja, kecuali kalau ternyata jawabannya salah maka ia masih berhak untuk ikut berebut menjawab pertanyaan berikutnya.
Beberapa alasan mengapa metode Reading Guide digunakan dalam pembelajaran Fiqih dan upayanya dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa adalah:
a) Efektivitas, karena para siswa tidak harus menbaca dan mempelajari materi pada buku ajar secara keseluruhan. Mereka cukup mempelajari materi yang sudah disusun dalam daftar pertanyaan yang akan mereka isi.
b) Komprehensif, karena apa yang ada dalam daftar pertanyaan itu telah mencakup seluruh inti materi dalam buku ajar.
c) Melekat, karena di samping mereka telah mengerjakan tugasnya sendiri, mereka sekaligus harus mengingat-ingatnya karena sessi berikutnya adalah tanya jawab dimana mereka akan berebut untuk menjawabnya.
d) Menyenangkan, karena proses pembelajaran tidak harus di kelas, tetapi bisa dilakukan dimanapun saja. Para siswa juga boleh mengambil posisi belajar sesukanya, misalkan dengan duduk bersila, jongkok, berdiri dan lain-lain. Prinsipnya, mereka harus menyelesaikan tugasnya mengisi jawaban dari daftar pertanyaan yang mereka bawa dan tidak boleh mengganggu temannya.

Read More..

AKTIVITAS BELAJAR SISWA


1. Pengertian Aktivitas
Aktivitas berasal dari bahasa inggris activity yang berarti kegiatan (Echols dan Shadily, 2000: 10). Bigot mengartikan aktivitas sebagai “sifat mudah atau sukar bertindak dengan sendirinya” (Bigot, 1990: 275). Dalam hal ini, aktivitas diartikan suatu kegiatan yang dilakukan oleh siswa pada saat proses pembelajaran.
Menurut Hamalik (2008: 89-90), siswa adalah suatu organisme yang hidup. Dalam dirinya terkandung banyak kemungkinan dan potensi yang hidup dan sedang berkembang. Nasution (1986: 92), menyatakan bahwa dalam kegiatan pembelajaran setiap siswa terdapat ”prinsip aktif” yakni keinginan berbuat dan bekerja sendiri. Prinsip aktif mengendalikan tingkah lakunya. Pembelajaran perlu mengarahkan tingkah laku menuju ke tingkat perkembangan yang diharapkan. Potensi yang hidup perlu mendapat kesempatan berkembang ke arah tujuan tertentu.
Untuk mencapai hasil belajar yang optimal dalam pembelajaran perlu ditekankan adanya aktivitas siswa baik secara fisik, mental, intelektual, maupun emosional. Di dalam pembelajaran, siswa dibina dan dikembangkan keaktifannya melalui tanya jawab, berfikir kritis, diberi kesempatan untuk mendapatkan pengalaman nyata dalam pelaksanaan praktikum, pengamatan dan diskusi juga mempertanggungjawabkan segala hasil dari pekerjaan yang ditugaskan. Dalam pembelajaran, menurut Bruner yang dikutip Ruseffendi (1997: 178) siswa haruslah aktif untuk menemukan prinsip-prinsip dan mendapatkan pengalaman untuk melakukan eksperimen, dan guru mendorong siswa untuk melakukan aktivitasnya. Dalam teori belajarnya, Bruner sangat menyarankan keaktifan siswa dalam proses belajar secara penuh untuk mencapai hasil yang maksimal. 2. Pengertian Belajar
Belajar dapat didefinisikan sebagai suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan untuk mengadakan perubahan dalam diri seseorang, mencakup perubahan tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu pengetahuan, dan keterampilan. Pada proses belajar, siswa tidak hanya menerima, tetapi diharapkan untuk menemukan sendiri (Suherman, 1994: 157). Sanjaya (2007: 130) berpendapat bahwa belajar bukanlah menghafal sejumlah fakta atau informasi. Belajar adalah berbuat; memperoleh pengalaman tertentu sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Sedangkan menurut David, sebagaimana dikutip oleh Budiningarti (1998: 68), menjelaskan bahwa pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa merupakan elemen-elemen pendidikan yang penting. Hal ini sangat penting diketahui guru pada awal pembelajaran, yaitu apa yang diketahui setiap siswa. David berpendapat bahwa siswa memerlukan bimbingan, agar dapat belajar dengan efektif dan bermakna (Meaningfull Learning). Informasi baru perlu diintegrasikan dengan pengetahuan yang sudah ada.
Belajar pada prinsipnya adalah kegitan untuk melakukan suatu perubahan tingkah laku. Perubahan akan terjadi apabila individu melakukan suatu aktivitas. Dengan kata lain belajar adalah suatu aktivitas.
Proses belajar anak melewati tiga tahap, yaitu enaktif, ikomik, dan simbolik. Dalam tahap enaktif, anak secara langsung terlibat dalam memanipulasi objek. Pada tahap ikomik, kegiatan yang sering dilakukan adalah berhubungan dengan mental, sebagai gambaran dari objek yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung memanipulasi simbol-simbol atau objek tertentu. Pada tahap ini, siswa sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap ojek riil (Suherman, 1994: 173). Untuk mengoptimalkan menjelaskan simbol-simbol atau objek tersebut peran guru sangat dibutuhkan, sehingga belajar dan pembelajaran akan berjalan dengan baik.
3. Macam-macam Aktivitas Belajar
Aktivitas belajar dapat dilakukan di mana saja, di lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah. Sekolah merupakan tempat yang dominan untuk mengambangkan aktivitas belajar siswa. Dierdrich sebagaimana dikuip Sardiman (1998: 99-100) membuat daftar berisi beberapa macam kegiatan siswa, yaitu:
a. Visual activities, yang termasuk di dalamnya; membaca, memperhati-kan, demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain.
b. Oral activities, seperti; menyatakan, bertanya, memberi sesuatu, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi dan interupsi.
c. Listening activities, misalnya; mendengarkan, uraian, percakapan, musik dan pidato.
d. Writing activities, seperti; menulis cerita, karangan, laporan, angket dan menyalin.
e. Drawing activities, misalnya; menggambar, membuat grafik, peta dan diagram.
f. Motor activities, misalnya; melakukan percobaan, membuat konstruksi, model persepsi, bermain, berkebun, dan beternak.
g. Mental activities, seperti; menganggap, mengingat, memecahkan soal, menganalisa, melihat dukungan, mengambil keputusan.
h. Emotional activities, misalnya; menaruh minat, merasa bosan, berani, tenang, gugup.
Proses belajar mengajar adalah suatu kegiatan yang selalu memperhatikan pengembangan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang diwujudkan dalam beberapa aktivitas belajar. Ketiga aspek tersebut menyatu dalam satu individu dan tampil dalam bentuk suatu kreativitas. Sedangkan pembinaan dan pengembangan kreativitas berarti mengaktifkan siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Pada proses belajar, siswa tidak hanya menerima, tetapi diharapkan untuk menemukan sendiri (Suherman, 1994: 157).
Melakukan berbagai kegiatan belajar berarti membuat belajar lebih efektif. Kegiatan itu antara lain; mendengarkan, melihat mengerjakan atau berbentuk perbuatan lain sehingga memungkinkan pengalaman belajar yang diperoleh lebih baik. Sardiman (1998: 100) berpendapat bahwa pemenuhan kebutuhan untuk bergaul dan mengenal siswa, guru dan orang lain merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan sosial siswa. Dalam hal ini sekolah dipandang sebagai lembaga tempat bergaul dan beradaptasi dengan lingkungan, guru dapat membangkitkan dan menciptakan suasana kerjasama, tolong-menolong dan seba-gainya, sehingga dapat melahirkan pengalaman belajar yang lebih baik, atau aktivitas ini lebih dikenal dengan aktivitas sosial.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Belajar
Soemanto (1987: 107-110) berpendapat bahwa ada tiga fakor yang mempengaruhi aktivitas belajar, yaitu: faktor stimuli belajar, metode belajar, dan faktor individual. Ketiga faktor tersebut secara jelas diuraikan sebagai berikut:
a. Faktor Stimuli Belajar
Yang dimaksud dengan stimuli belajar adalah segala hal di luar individu yang merangsang individu untuk mengadakan reaksi atau perbuatan belajar. Perbuatan atau aktivitas belajar yang disebabkan faktor stimuli inilah yang menyebabkan adanya dorongan atau motivasi dan minat dalam melakukan kegiatan-kegiatan belajar. Ada beberapa hal yang berhubungan dengan faktor stimuli belajar, antara lain:
1) Panjangnya bahan pelajaran
Bahan pelajaran yang terlalu panjang atau terlalu banyak dapat menyebabkan kesulitan individu dalam belajar. Namun demikian, kesulitan belajar individu tidak semata-mata karena panjangnya waktu untuk belajar, melainkan lebih berhubungan dengan faktor kelelahan dan kejenuhan siswa dalam menghadapi atau mengerjakan bahan yang banyak itu.
2) Kesulitan bahan pelajaran
Tiap-tiap bahan pelajaran mengandung tingkat kesulitan yang berbeda. Tingkat bahan pelajaran mempengaruhi kecepatan belajar siswa. Makin sulit suatu bahan pelajaran akan lambatlah siswa mempelajarinya dan bahan pelajaran yang sulit memerlukan aktivitas belajar yang lebih intensif (Soemanto, 1987: 109). Oleh karena itu, bahan pelajaran yang sulit harus diupayakan merangsang siswa secara intensif dan aktif dalam mempelajarinya.
3) Berartinya bahan Pelajaran
Menurut Ahmadi dan Supriyono (1991: 132), bahan pelajaran yang berarti memungkinkan individu untuk belajar, karena individu dapat mengenalnya. Modal pengalaman yang diperoleh dari belajar pada waktu sebelumnya sangat diperlukan dalam belajar. Modal pengalaman itu dapat berupa penguasaan bahasa, pengetahuan dan prinsip-prinsip. Modal pengalaman itulah yang dapat menentukan berartinya bahan pelajaran yang dipelajari pada waktu sekarang.
4) Suasana lingkungan eksternal
Suasana lingkungan eksternal menyangkut banyak hal, antara lain: cuaca, kondisi tempat, penerangan dan sebagainya. Faktor-faktor ini mempe-ngaruhi sikap dan reaksi individu dalam aktivitas belajarnya, sebab individu yang belajar adalah interaksi dengan lingkungannya.
b. Faktor Metode Belajar
Dalam proses belajar mengajar, metode yang digunakan guru akan mempengaruhi belajar siswa. adapun faktor yang menyangkut metode belajar adalah:
1) Kegiatan berlatih atau praktek
Kegiatan ini dilakukan untuk mengurangi kelupaan, mengingat kembali, atau memantapkan reaksi terhadap belajar. Namun Soemanto (1987: 110) berpendapat bahwa latihan yang dilakukan secara maraton dapat melelahkan dan membosankan, sedangkan latihan yang terdistribusi menjadi terpeliharanya stamina dan kegairahan dalam belajar. Oleh karena itu, kegiatan ini perlu diselingi dengan istirahat supaya tidak menimbulkan kesan membosankan.

2) Pengenalan hasil belajar
Dalam proses belajar, individu sering mengabaikan perkembangan hasil belajar selama dalam belajarnya. Pengenalan seseorang dalam hasil belajarnya atau prestasi belajar adalah penting bagi siswa, karena dengan mengetahui hasil-hasil yang sudah dicapai, seseorang akan lebih berusaha meningkatkan hasil selanjutnya (Ahmadi dan Supriyono, 1991: 135). Hasil belajar yang terpantau atau diketahui siswa, akan menjadi pemicu tumbuhnya semangat dalam mencapai hasil belajar yang maksimal.
3) Bimbingan dalam belajar
Bimbingan dalam belajar ini diperlukan untuk memberikan motivasi belajar serta pemberian modal kecakapan siswa sehingga dapat melakukan aktivitas belajar dengan baik.
c. Faktor individual
Faktor individual siswa juga sangat berpengaruh dalam aktivitas belajar siswa. Adapun faktor-faktor individual ini menyangkut hal-hal sebagai berikut:
1) Kematangan
Ahmadi dan Supriyono (1991: 137) menyatakan bahwa kematangan yang dicapai oleh individu merupakan proses pertumbuhan fisiologinya. Kematangan terjadi akibat adanya perubahan kuantitatif di dalam struktur jasmani, dibarengi dengan perubahan kualitatif terhadap struktur tersebut. Sebab kematangan memberi kondisi fungsi fisiologis termasuk fungsi otak saraf untuk berkembang.
2) Pengalaman sebelumnya
Pengalaman yang diperoleh sebelumnya dari lingkungan akan turut serta mempengaruhi perkembangan individu dalam memahami dan mempelajari pelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Ahmadi dan Supriyono (1991: 138) bahwa pengalaman belajar yang diperoleh individu ikut mempengaruhi hasil belajar yang bersangkutan. Lingkungan ikut memegang peranan penting dalam pembentukan watak dan pemahaman terhadap proses dan hasil belajar.
3) Kondisi kesehatan
Soemanto (1987: 115) berpendapat bahwa, individu yang belajar membutuhkan kondisi badan yang sehat. Seorang siswa yang badannya sakit akibat penyakit-penyakit tertentu serta kesalahan tidak akan dapat belajar dengan efektif. Kesehatan yang dijaga dengan baik akan berpengaruh terhadap efektifnya aktivitas belajar siswa.
5. Manfaat aktivitas belajar
Hamalik (2008: 91) menyebutkan delapan manfaat dalam penggunaan asas aktivitas belajar, yaitu:
a. Siswa mencari pengalaman sendiri dan langsung mengalami sendiri.
b. Berbuat sendiri akan mengembangkan seluruh aspek pribadi siswa
c. Memupuk kerja sama yang harmonis di kalangan siswa yang pada giliranyya dapat memperlancar kerja kelompok
d. Siswa belajar dan bekerja berdasarkan minat dan kemampuan sendiri sehingga sangat bermanfaat dalam rangka pelayanan perbedaan individual
e. Memupuk disiplin belajar dan demokratis dan kekeluargaan, musyawarah dan mufakat
f. Membina dan memupuk kerjasama antara sekolah dan masyarakat, dan hubungan antara guru dan orang tua siswa yang bermanfaat dalam pendidikan siswa
g. Pembelajaran dilaksanakan secara realistik dan konkrit sehingga mengembangkan pemahaman dan pemikiran kritis serta menghindarkan terjadinya verbalisme
h. Pembelajaran menjadi hidup sebagaimana halnya kehidupan dalam masyarakat yang penuh dinamika
Read More..